يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ، لا تُؤْذُوا الْمُؤْمِنِينَ، وَلا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيهِ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ، وَلَوْ فِي جَوْفِ بَيْتِهِ.
“Wahai orang-orang yang telah Islam lisannya namun belum beriman hatinya, janganlah kalian menyakiti orang-orang beriman dan jangan pula mencari-cari kesalahannya. Barangsiapa mencari-cari kesalahan dan kekurangan saudaranya, niscaya Allah –pun akan menyingkap kesalahannya meski ia berada pada bagian terdalam dari rumahnya.” [HR. Thabraani, di dalam al Mu’jam al Kabiir, (9/388)]
Hakim (bukan nama sebenarnya) adalah wirausahawan di bidang IT. Perjalanan bisnis yang ia tempuh tidaklah terus menerus beralaskan permadani nan indah. Suatu masa dia harus menginjakkan kakinya diatas kerikil nan tajam. Kebuntuan menghadang usahanya sehingga dengan terpaksa dia terbelit hutang yang tidak bisa diselesaikannya.
Sebagai seorang tarbiyah sebenarnya dia memiliki keluarga non bioligis yakni keluarga tarbiyah. Namun ia enggan untuk menceritakan bebannya pada jama’ah, dia takut akan menjadi beban jama’ah. Akan tetapi karena hutang tersebut juga terkait dengan ikhwah tarbiyah lainnya maka lambat laun diketahui jama’ah di wilayahnya. Diapun diminta untuk menjelaskan perkara bebannya.
Hakim… dia begitu gembira karena setelah menjabarkan musibah yang dialaminya, respon jama’ah begitu cepat, Hakim juga mendapatkan bantuan modal untuk membangun bisnisnya. Sampai suatu hari Hakim diminta untuk bersilaturahim ke rumah seorang koordinator yang menengani kasusnya. Di sana Hakim mendapat taujih yang begitu menguatkan dirinya dalam kondisi yang tidak menentu itu. Kalimat-kalimat yang dia terima terasa seperti air hujan di musim kemarau.. Namun entah disengaja atau tidak, ditengah hujan yang menyejukkan itu terselip sebuah petir yang menggelegar.. iya mendengar sebuah kalimat yang berbunyi: “ada masukan dari fulan jika ingin cepat kaya, salah satu caranya adalah menikahi wanita kaya” sungguh kalimat yang tak disangka sangka oleh Hakim yang sudah memiliki seorang istri dan 4 anak. Dia tidak menyangka bahwa selama ini pekerjaannya disalah artikan oleh orang-orang yang selama ini dia muliakan. Pekerjaannya dianggap sebagai cara ingin cepat kaya. Untunglah Hakim bukan seorang yang cepat kecewa.. dia tidak mutung ketika itu, tak terbersit dibenaknya untuk keluar dari jama’ah, walaupun kalimat itu terasa sangat getir dan menyayat hati di kala musibah sedang menimpanya. Dia simpan sendiri di lubuk hati yang terdalam, bahkan diapun enggan untuk menceritakan pada istrinya. Kali ini Hakim berjalan pulang dengan langkah yang tidak tegak seperti saat optimisnya kembali tumbuh ketika menerima bantuan modal.
Di tempat lain, kisah hidup Rasyid (bukan nama sebenarnya) tidak terlalu berbeda dengan Hakim. Sudah 4 tahun dia berusaha agar kehidupan ekonominya pulih kembali. Berbagai jenis usaha dia upayakan, namun Allah belum mentakdirkan kesuksesan bagi dirinya.
Pada Ramadhan tahun ini, Rasyid kembali mencoba usaha baru, dia merintis usaha catering dan berhasil mendapatkan rekanan sebuah Lembaga Amil Zakat tingkat nasional. Rasyid ditunjuk untuk menangani sebagian wilayah di kotanya. Rasyid dan istri sepakat bahwa mereka harus menyewa sebuah mobil yang akan digunakan sebagai sarana operasional selama sebulan agar dapat memenuhi kewajiban dengan LAZ tersebut. Dia mengkalkulasi bahwa tidak mungkin mengangkut pesanan yang jumlahnya ratusan boks per hari, hanya dengan sepeda motor bebek yang dimilikinya.
Bisnis itu pun ia jalani selama sebulan penuh dengan suka dukanya. Namun tak disangka-sangka beberapa ikhwah di wilayah kecamatannya yang sudah mengenal dan faham betul dengan permasalahan dirinya selama ini, malah memberikan nilai negatif. Hanya karena pernah melihat Rasyid yang mengendarai mobil tanpa mengetahui detil latar belakangnya, langsung mencibir di depan ikhwah lainnya bahwa Rasyid mempunyai gaya hidup yang tidak wajar.
***
Kisah kisah sejenis mungkin sering kita dengar atau mungkin pernah terjadi pada diri kita sendiri. Apabila kita adalah orang yang terzalimi maka mungkin itulah saatnya Allah memberikan kesempatan bagi kita untuk mendoakan kebaikan pada saudara-saudara kita. Dan apabila kita sebagai pelaku yang menzalimi saudara kita dengan memberikan penilaian yang tidak hak, maka saatnya kita sadar dan melihat kembali bahwa apa yang kita lakukan merupakan salah satu bibit yang menyebabkan dakwah ini semakin ditinggalkan dan mungkin menjadi penyebab Allah enggan menurunkan pertolonganNya.
Materi materi keislaman yang selama ini kita terima bukanlah sekedar formalitas yang berhak kita dapati dalam proses tarbiyah ini. Materi tarbiyah adalah sebuah taklif yang harus kita ejawantahkan dalam kehidupan sehari hari.
Dalam kasus yang saya angkat diatas, Rasulullah dengan tegas mewanti wanti kita tentang bahayanya menilai orang dengan tidak hak. Sebagaimana sabdanya: “Wahai orang-orang yang telah Islam lisannya namun belum beriman hatinya, janganlah kalian menyakiti orang-orang beriman dan jangan pula mencari-cari kesalahannya. Barangsiapa mencari-cari kesalahan dan kekurangan saudaranya, niscaya Allah pun akan menyingkap kesalahannya meski ia berada pada bagian terdalam dari rumahnya”.
Fenomena ini memang bukanlah fenomena “khusus”, ini terjadi di kalangan kaum muslimin secara umum. Namun hal tersebut bukanlah dalil yang bisa digunakan untuk mendukung perbuatan tersebut sebagai sebuah kewajaran, apalagi jika terjadi di kalangan orang-orang tarbiyah yang selalu mengedepankan nilai dakwah.
Saya sendiri menilai jika yang melakukan tersebut adalah orang-orang tarbiyah maka dia sudah keluar dari jargon yang selama ini diusungnya, “berlaku adillah karena sesungguhnya adil itu lebih dekat dengan takwa”.
Dua kasus diatas menunjukkan ketidakadilan dalam menilai orang lain bahkan sesama saudaranya disebabkan sikap ceroboh yang tentunya dilandasi dengan tidak memiliki informasi yang lengkap sebelum memberikan penilaian. Simaklah perkataan Ibnu Taimiyyah berikut ini tentang pentingnya memiliki informasi yang lengkap sebelum memberikan sebuah penilaian:
لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ مَعَ الْإِنْسَانِ أُصُولٌ كُلِّيَّةٌ تُرَدُّ إلَيْهَا الْجُزْئِيَّاتُ لِيَتَكَلَّمَ بِعِلْمِ وَعَدْلٍ ثُمَّ يَعْرِفُ الْجُزْئِيَّاتِ كَيْفَ وَقَعَتْ وَإِلَّا فَيَبْقَى فِي كَذِبٍ وَجَهْلٍ فِي الْجُزْئِيَّاتِ وَجَهْلٍ وَظُلْمٍ فِي الْكُلِّيَّاتِ فَيَتَوَلَّدُ فَسَادٌ عَظِيمٌ
“Seorang yang ingin membahas masalah-masalah terperinci (al juz’iyyaat) secara baik dan benar wajiblah memiliki dasar-dasar global yang dijadikannya sebagai tolak ukur. Dengan itulah ia dapat mengetahui berbagai duduk masalah secara terperinci. Jika ia tidak mengetahui dasar-dasar global tersebut, niscaya ia akan tetap berada dalam kedustaan dan kebodohan terhadap masalah-masalah yang terperinci, -sebagaimana- ia –juga- akan tetap berada dalam kebodohan dan kedzhaliman terhadap perkara-perkara global, dan inilah yang menjadi cikal bakal munculnya kerusakan dan kehancuran yang besar.” [Majmu’ Fataawa, (19/203)]
Seorang mukmin selayaknya sadar akan kewajiban dirinya untuk senantiasa menjaga kehormatan kaum muslimin. Allah subahanahu wata’ala telah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا (57) وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا [الأحزاب/57، 58]
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (al Ahzaab; 57-58)
Dan seorang mukmin juga diminta untuk menghindar dari mengedepankan prasangka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ [الحجرات/12]
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”. (al Hujuraat; 12)
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Tahukah kalian apa yang dimaksud ghibah ? Para sahabat berkata; Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu. Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda; (ghibah adalah) engkau menceritakan sesuatu yang tidak baik berkenaan dengan saudaramu. Kemudian, Beliau ditanya; bagaimana jika yang saya ceritakan itu –benar- berada pada saudaraku tersebut ? Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda; jika betul yang engkau ceritakan berkenaan dengan saudaramu itu, maka sungguh engkau telah menggibahnya. Namun bila cerita engkau itu tidak benar, maka sesungguhnya engkau telah mendzhaliminya.”
Dua contoh kasus diatas mungkin terlihat ringan, umum, bahkan bisa dianggap sebagai angin lalu. Namun di balik itu dampaknya akan begitu negatif. Dampak yang akan muncul adalah berupa perpecahan, permusuhan, saling hasad, dengki, saling tuduh, dan hal-hal lain yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip ukhuwah dan persaudaraan Islam.
Oleh karenanya sebelum memberikan penilaian kepada orang lain, penting bagi kita memperhatikan kaidah kaidah sebagai berikut:
1. Bertakwalah kepada Allah ketika ingin memberikan penilaian kepada saudara kita dan sesama mukmin. Jadikan Allah sebagai pengawas pendapat diri kita tentang orang yang akan kita nilai.
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”. (al Baqarah; 275)
2. Kedepankan husnuzan sesama muslim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا [الحجرات 12]
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang …” (al Hujuraat; 12)
3. Berlaku adil dalam menilai dan membicarakan seseorang. Berlaku adil kepada setiap orang adalah hal yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Sikap seperti ini adalah sikap yang telah diwasiatkan oleh Allah tidak saja kepada ummat Muhammad ––shallallahu ‘alaihi wasallam-, tetapi juga kepada ummat-ummat sebelumnya.
وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى [الأنعام/152]
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu).” (al An’aam; 152)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ [المائدة/8]
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا [النساء/135]
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.” (an Nisaa'; 135)
Olehnya itu, maka penilaian terhadap pribadi seorang muslim wajiblah didasarkan pada prinsip keadilan, dan berlandaskan ilmu serta data yang benar dan akurat. Tidak dibenarkan bagi seorang membicarakan pribadi saudaranya –apapun alasannya- jika tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip yang telah disebutkan. Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا [الإسراء/36]
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (al Israa'; 36)
4. Dalam menilai seseorang, wajib menjaga persatuan dan ukhuwah. Menjaga nilai-nilai ukhuwwah dan persaudaraan sesama muslim adalah hal yang wajib, dan mencorengnya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyakiti perasaan mereka adalah hal yang diharamkan, dan termasuk bentuk kedzhaliman.
Semoga dengan menerapkan nilai tarbiyah diatas lisan kita, Allah akan memberikan keberkahan dan menutup aib diri kita masing-masing. Sebab tidak ada satu orangpun yang berjalan di muka bumi saat ini yang dirinya luput dari aib. Sungguh kita tidak akan mampu menegakkan kepala kita berjalan di muka bumi ini ketika Allah membongkar aib kita sebagai balasan karena kita mencari cari kesalahan saudara kita. Allah-lah satu satunya Dzat tempat berlindung dari keburukan dan Allah-lah tempat kita kembali. Wallahul musta’an.
(Masyhuri)