Pertanyaan: apakah kita adalah kumpulan manusia yang bercanda tentang hidup ini, sebab seseorang pernah menulis “ini Cuma gurauan belaka”. Lalu diketahui hari ini kita masih sedang di bumi dan masih punya dosa untuk melihatnya, ya melihatnya dari sudut pandang seorang Cak Nun, dia bilang kepada kita, kalau kita ini “Kurang Ludruk”, dan dia tidak sedang bercanda.
Ludruk yang kita fahami adalah salah satu jenis kesenian asli negeri kita sendiri, Indonesia. Dan kini diduakan, bahkan kabarnya ada dinomor tiga ratus sembilan puluh tujuh. Dan televisi kita dibanjiri sesuatu yang kita sendiri tidak sukai. Tapi ini bukan tentang televisi, akhlak, moral atau lain-lain, Iwan Fals juga nyindir, biar kami saja yang urus. Ini tentang kemampuan kita menerapkan Ludrukisme, dalam panggung politik di Indonesia.
Suatu kosakata yang tidak perlu dibahas, tidak penting, dan berhentilah mengerjakan sesuatu yang tidak berfaedah untuk orang banyak. Bahwa ini Cuma selipan memo dalam naskah untuk pemeran utama, supaya wanti-wanti menjalani panggungnya, tak ada jalan perjuangan yang mulus, pihak yang lain bernada yakin melisankan, semakin berliku, semakin bagus.
Kita mulai dari apa yang kita lakukan untuk orang lain, dan berusaha menikmatinya. Disini kita menyimpan banyak cerita tentang orang yang gagal menikmati dengan antusias perjuangannya. Tidak usah diceritakan, saat mereka meninggalkan gerbong yang melaju, biar saja, kita punya naskah juang yang harus dilakonkan, mereka juga punya sebatas cerita atas laju yang makin kencang, diatas rel yang meliuk menanjak, terjal. Dan kita mendapati diri kita disini. Dalam laju, deru , di panggung demokrasi.
Lalu semua orang membuatnya menjadi lebih sederhana, politik versi kita adalah ada disana, saat bencana datang dan kita mendirikan tenda bantuan. Ujung tombak pergerakan membela kebenaran melalui sidang paripurna yang amat panjang, lainnya rutin mengunjungi rumah-rumah, satu-satu, menjenguk warga, mengecek gula darah, asam urat dan kolesterolnya, dan menyampaikan kabar gembira. Pula mengisi kajian dari kampung ke kampung, perwiridan-perwiridan, sambil menjawab riuhnya tanya ibu-ibu, dan hendak pamit dititipi kue bugis untuk orang dirumah. Ludruk versi kita, sang pemeran utama.
Dalam satu pekan yang ramai, menyempatkan diri untuk datang menyimak kajian adalah kewajiban. Sebab kefakiram atas ilmu, serta kehausan dalam dahaga nya harus selalu terasa. Kehadiran kita memang tak selalu membantu banyak hal, bahkan tidak menyelesaikan jika pada ini semua datang persoalan, tapi disanalah tempat do’a-do’a terpanjat, bersama orang yang menjaga kesalihan, membaca ayat suci Al-Qur’an, maka kita persembahkan yang paling bisa kita berikan, kehadiran.
Seusainya dari bencana alam dalam mendirikan tenda bantuan, seusai mengantarkan orang sakit dengan ambulans, dan tetangga kanan-kiri sudah kita sapa dalam kebaikan. Sang ibu harus ada dirumah, menjadi madrasah, bagi sang buah hati, mendenyutkan cinta, mendegup kan tarbiyah. Sang ayah harus mencari nafkah, menggelar niaga dan mengusakan rupa-rupa yang terbaik. Sebab isterinya berpesan dalam bisik, “Kami rela lapar, daripada kau kasih rizky dan asupan yang tak halal.”
Dan dunia berbuat seenaknya
Kalau ada yang menyusuri becek, kerikil dan terik panas kala perjuangan dalam mengibarkan layar dakwah, satu-satu, sedikit demi sedikit dan menikmatinya. Tentu ada juga seorang didalam, dengan hanya sebuah serangan di sosial media bisa menuai benci sejagad maya. Malangnya kita. Sudah mirip mereka lah gaya kita, sudah versi mereka ludruk kita, skenario macam apa lagi yang hendak kita tulis, kita pertontonkan untuk akhirnya merasa malu sendiri.
Sebagian kecil sudah mulai mengingkari sendiri janji yang pernah tulis di masa lalu, dan sebagian besar merinduinya untuk kembali. Dalam rute yang semua ada dalam genggaman Nya. Dalam jalur yang tekuk lutut kita patuh, menjalani dan semata-mata mengharap Keridhaan Nya. Panggung sudah terbuka, layar sudah dinaikkan, soundtrack sudah mengalun perlahan, kita sang pemeran utama siap menampilkan yang terbaik dalam lakon yang tak sempurna.
Saatnya menyampaikan pada khalayak ramai, tentang kabar gembira. Indonesia, segeranya setelah semua kejahatan berbungkus sutera tersingkap, akan utuh digdaya. Setelah topeng mereka dilepas penonton sendiri dan terpampanglah wujud aslinya, buruk rupa. Dan bagi lakon utama, mengusahakan diri untuk tidak peduli dengan topeng, tipu daya dan citra. Hanya peduli jalan cerita haruslah dengan baik dilakonkan, dibuat menarik, menyenangkan, dan berakhir kebahagiaan.
Panggung diharapkan semarak, maka pemeran utama diisukan macam-macam, difitnah sana-sini, diguncang, dicaci, dibenci, diarahkan sudut pandang. Bartambahlah uji atas juangnya, dakwahnya, ibadahnya. Lanjutlah diperiksa ikhlasnya, zuhudnya, sabarnya, syukurnya. Dan selalu ada yang berusaha mengucap bijak, “Hadapilah.. Hadapilah.” Ya, mari hadapi. Sebab ketakutan, kesusahan, kebencian, ketidaksukaan sengaja hadir dan datang untuk dikalahkan.
Dan lanjutlah perjuangan.
Oleh: Nanda Koswara