0
[Cerpen] M a t a
BALIK ke kampung, setelah 27 tahun merantau di Praha, Cheko, membuat perasaan diaduk-aduk. Entah seperti apa bentuk kampungku sekarang. Ingatanku meloncat-loncat dari satu ingatan ke keping ingatan yang lain. Rindu yang lima tahun lalu hanya berupa putik, kini sudah menjadi buah masak. Kalau tak segera dipetik, ranumlah ia. Maka, sebelum terlanjur, kuteguhkan azam ini untuk pulang, melihat bumi tempat pertama kali kaki ini berpijak.
Pesawat yang kutumpangi melayang-layang di atas kota ini. 27 tahun lalu aku menyebutnya kampung. Tapi tampaknya tak lagi. Entahlah orang di sini. Dari ketinggian ini, aku melihat gedung tinggi, perkantoran, apartemen serta pusat perbelanjaan. Pilot memberi pengumuman tidak lama lagi pesawat akan mendarat. Tapi jantungku sudah berdegup-degup kencang. Pulang ke kota ini adalah impian puluhan tahun lalu, yang kini jadi nyata.
Tidak ada yang menyambutku. Dan aku pun tak minta dijemput. Sebenarnya aku ingin memberi kejutan kepada orang kampungku: Tajul, anak Isa bin Jumud yang sudah 27 tahun merantau di Eropa, kini balik kampung. Taksi biru ini menjadi saksi kegembiraanku. Tak dapat aku berkata-kata. Melainkan dada yang gemuruh, hati yang bergetar, napas yang naik turun mengatur keseimbangan.
Rumah pertama yang ingin kudatangi adalah rumah orangtuaku. Setelah itu baru aku ke jalan Kelapa, rumah Pri sahabatku waktu SMP. Besok, baru mendatangi orang tua-tua di kampung ini.
“Assalamualaikum...” Tak ada jawaban.
Kupandangi kiri dan kanan rumah. Lengang.
“Assalamualaikum! Ada orang?” Tetap tak ada balasan.
“Maak, bapaak... salamualaikuuum.”
Kudengar suara pintu berkiut, lalu bunyi langkah kaki. Seiring dengan itu terdengar suara batuk kering. Sesosok perempuan tua keluar meraba tangannya, seperti mencari-cari sesuatu.
“Mana tongkatku bang?”
“Tadi dekat lemari!”
“Tak ada, dimana awak letak tadi?”
“Di situlah, dekat lemari sebelah laut.”
“Ada suara orang, sayup-sayup terdengar. Siapa tu...?”
Perempuan tua ini tidak lain ibuku. Kerongkongan ini tiba-tiba tercekat melihat Mak dan Bapakku, kedua-duanya dalam keadaan buta. Badan seperti melayang, rasa tak sanggup menyaksikan:
“Mak...”
Kupeluk tubuh orangtua itu, tak sanggup lagi memendam haru menyaksikan keadaan orangtuaku dalam keadaan buta.
“Siapakah engkau ini?”
“Aku Tajul, Mak, anak emak yang merantau di Eropa, tak ingat lagikah emak dengan suaraku?”
“Bang...? abang, ke sinilah, Tajul dah pulang ni... sini cepat Bang!”
Suara emak mendesah, sangat lain dari yang pernah kudengar dulu.
“Siapa...? Tajul...?”
Seorang lelaki tua bertongkat keluar dari kamar. Tergopoh-gopoh hingga melanggar kursi yang melintang. “Engkaukah yang datang Jul?” Kerongkonganku semakin tercekat. Dadaku sebu tak terkira, melihat keadaan ini. Ternyata bapakku juga buta. Dulu Mak dan Bapakku semua sehat jasmani dan rohani. Kini mengapa jadi...b u t a a a a...!
Tak sempat aku bertanya apa yang membuat Emak dan Bapakku jadi begini, mereka lebih dulu bertanya:
“Tajul, bilo dikau sampai?”
“Baru sekejap tadi Mak.”
“Pakai apo engkau dari Pghaha?”
“Bukan Pghaha, Pak...! P r a h a.
“Ya, itulah. Pakai apo engkau dari Pghaha?”
“Pakai pesawat yang baru turun tadi, Pak.”
“Dah berapo tahun dikau tak balik, Jul?”
“Dah dekat 27 tahun. Mak dulu dan Bapak sehat belaka. Apa pasal jadi begini? Betulkah Mak dan Bapak tak dapat melihat?”
Sejenak rumah itu senyap. Sepi, bisu, bagai setan lewat melintas. Kulihat Mak tersenyum. Wajah Bapak datar saja. Mungkin masing-masing mengharapkan bukan dia yang menjawab, sehingga keduanya saling menunggu. Lama.
Tiba-tiba Bapak memecah kesenyapan itu.
“Naik, naiklah dulu, mungkin kau penat lama di perjalanan, istirahatlah dulu. Minum kopi? Bapak buatkan ya?”
“Tak usah payah-payah. Berjumpa dengan Mak dan Bapak saja, Jul sudah bahagia, jangan ditambah-tambah dengan kopi yang akan membuat hajap Bapak saja.”
“Apa pulak hajapnya. Kami ini... walau mata gelap memandang, tapi hati terang benderang,” ujar Mak sambil tersenyum kecil. Inilah senyum yang kubawa merantau 27 tahun yang lalu. Dan baru sekarang kulihat kembali.
Kulihat Bapak telah menghilang di balik dapur.
“Cobalah lihat kamar kau, tu, bersih atau macam kapal pecah?” tanya ibuku.
“Seperti kapal pecah Mak, siapa yang tidur di sini?”
“Adik kau si Sam, dia itu, tak tentu arah kerjanya,” rungutnya.
“Biarlah Mak, namanya budak bujang...”
“Siapa kata dia bujang. Sudah menikah pun dia, hanya dia saja yang “gila”, ikut-ikut pula menusuk ...”
Sampai di sini Emak berhenti.
“Menusuk apa Mak?”
“Tidak! Kelakuannya tak senonoh, sehingga bininya minta cerai...”
Bapak datang membawa teh untukku. Walau tadi dia bertanya: mau minum kopi, tapi dia tahu aku hanya minum teh.
“Bisa bikin teh dalam gelap” godaku.
“Rumah ini Bapak bangun sendiri. Jadi seluk beluknya sudah tahu betul. Tak mungkinlah kami tak tahu dimana letak saring teh,” kata Bapak. Tersenyum.
Inilah senyum laki-laki yang menggetarkan banyak gadis di kampung kami, dulu. Kini senyum itu sudah bercampur persoalan hidup yang aku tidak tahu. Suruhan agar aku beristirahat kuikuti. Memang badan ini terlalu letih melalui perjalanan 2 hari 2 malam dari kota Praha, sebuah kota indah di Cheko, daratan Eropa.
***
Pagi pertama.
Sebagai kebiasaan, aku lari-pagi usai sholat subuh. Terang beringsut merayapi kampung kami. Gelap malam terkelupas oleh cahaya fajar yang sebentar lagi berganti pagi.
Kulihat, ada keganjilan pada kampung ini. Semalam aku tak sempat bertanya: mengapa Mak dan Bapakku kedua-duanya buta, padahal dulu mata mereka sehat belaka. Kedua, sudah tiga orang kujumpai subuh ini, semua berjalan pakai tongkat.
Lah! ini Pak Haji Yusuf, yang dari dulu dikenal tak pernah lepas dari senyum, bertongkat pulang dari surau.
“Assalamualaikum Pak Haji.”
“Waalaikumsalam. Siapa ni pagi-pagi menegur kami?”
“Saya Tajul, anak Isa bin Jumud. Tak kenal lagikah dengan saya?”
“Apa pulak tak kenal. Dah berapa tahun kau tinggalkan kampung ini?”
“Waktu pergi dulu, saya masih kanak-kanak, sekarang dah jadi bapak-bapak,” gurau saya. Pak Haji Yusuf terkekeh, ketawa khasnya.
Kami berjalan searah. Kupegang tangan Pak Haji Yusuf dengan maksud membimbing dia berjalan. Namun dia menolak. “Saya dah hapal seluk beluk kampung ini. Tak payah kau bimbing, aku dapat berjalan sendiri,” ujarnya halus.
Mata hari menyembul dari celah pohon nyiur. Masyallah, seberapa banyak aku melihat orang di kampung ini, semuanya dalam keadaan buta. Astaghfirullah, apa sesungguhnya yang terjadi?
Ku pegang tangan Pak Haji Yusuf.
“Pak Haji, mohon jelaskan padaku, apa yang menyebabkan orang kampung ini buta semua?
Haji Yusuf kembali tersenyum. Tenang.
“Apa Mak dan Bapak kau tak cerita?”
“Belum sempat lagi Pak, terlalu petang aku tiba semalam, dan badanku kelelahan sehingga langsung lenyak. Ketika bangun subuh, mereka masih tidur, dan aku keluar olahraga,” jelasku terengah-engah.
Haji Yusuf tampak tenang, tak peduli pertanyaanku yang gelisah dan cenderung mendesaknya.
“Pulanglah dulu ke rumah engkau. Nanti Mak dan Bapakmu akan jelaskan.”
“Tak bisakah Pak Haji jelaskan sekarang?”
“Pulanglah dulu...”
Yah, apa boleh buat. Kutinggalkan Haji Yusuf, lalu melangkah ke Jalan Kelapa, menjumpai Pri, sahabatku sejak SMP. Karena kampung ini tidak terlalu besar, semua rumah dapat ditempuh berjalan kaki dalam sekejap.
“Ada Pri?” tanyaku kepada remaja yang sedang latihan menari zapin pagi itu. Tapi aku melihat keganjilan. Masya Allah... semua gadis-gadis ini buta.
“Wahai anak, mengapa semua kalian bermata buta? Dan yang lebih mengherankan lagi, tak adakah kesulitan kalian berlatih zapin, sedang mata tak dapat memandang?”
Salah seorang dari gadis itu menjawab:
“Yang buta kan mata lahir, Pak Cik, mata batin kami... hmm, terang benderang!” candanya. Semua penari buta itu tertawa-tawa keriangan. Mereka terus mengatur gerak langkah.
“Masuklah Pak Cik, Ngah Pri ada di dalam...” ujar seorang gadis yang wajahnya mirip dengan Tina, istri Pri.
“Salamualaikum... Pri!”
“Engkau tu, Tajul?” Kulihat Pri pun melangkah dengan mata tak dapat melihat. Berdesir darah ini melihat sahabatku ini pun bermata buta.
“Ya, lamo betul kito tak jumpo.”
“Ya, tapi aku masih kenal suara engkau.”
Tak habis diri ini diterjang bingung, ada apa sebenarnya yang terjadi, hampir seluruh isi kampung ini buta.
“Dikau pun buta, Pri. Sudah lelah aku dari semalam berjalan dan bertemu dengan seluruh isi kampung. Tak lain yang kutemui: orang buta... orang buta. Mengapa semua orang buta, Pri? Mengapa semua orang suka matanya buta, Pri? Dan mengapa semua orang tidak mau bercerita, Pri?” tanyaku hampir frustrasi.
“Bapak dan Mak dikau dah cerita?”
“Belum...”
“Pergilah pulang dulu, biar mereka yang menjelaskan, kami ini apalah, hanya mengikut...”
“Jadi, engkau pun tak mau cerita pada aku?”
“Bukan begitu, Tajul, desa ini sudah sepakat, hanya Mak dan Bapak dikau lah yang paling berhak menjelaskan persoalan ini. Aku bisa saja menjelaskan, tapi takut salah, nanti marah pula orang kampung.”
Kalau begitu aku harus pulang untuk menjumpai Mak dan Bapak. Tampaknya hal ini menjadi harus. Sebab mulai dari Pak Haji Yusuf, orang-orang yang berjual beli di pasar kampung, anak gadis yang latihan zapin, sampai sahabatku sendiri, Pri, semua tak mau menjelaskan mengapa semua menjadi buta. Dan mereka tidak pernah mengeluh, bahkan gembira, matanya buta.
***
“Assalamualaikum, Mak!”
“Masuklah... dari mana saja pagi-pagi buta?”
“Melihat-lihat kampung. Semua orang di kampung ini dah gila agaknya,” rungutku, sambil duduk di kursi tua, kursi makan orang di rumah ini.
“Kenapa pula?” tanya Mak menyanggah.
“Mulai dari Mak dan Bapak, sampai semua orang di kampung ini, tak satupun mau menjelaskan kenapa semua menjadi buta!”
Kulihat emakku tersenyum mendengar sungutku.
“Tak ada engkau bertanya semalam,” goda Mak, tetap tersenyum.
Aku tak dapat berkutik. Memang benar, begitu selesai makam malam tadi, aku pun rebah, tak sadarkan diri sampai azan subuh tadi.
“Baiklah Mak... Sekarang saya nak bertanya. Oya, Bapak kemana?”
“Ke darat agaknya, menoreh getah...”
Seiris perasaan kecewa masuk ke hatiku. Inilah masa aku harus tahu, mengapa orangtuaku, sahabatku dan semua orang di kampung ini buta.
“Mak... saya kira Mak dan Bapak buta karena kecelakaan. Semalam aku tak sempat bertanya. Kini jawablah pertanyaanku: Mengapa mata Mak, Bapak dan semua orang di kampung ini, buta? Mengapa Mak...”
Kulihat orangtua itu tersenyum. Dia bangkit dari duduk, berjalan mengitari meja makan yang sudah menghitam.
“Tajul, kau keluar terlalu pagi.”
“Bukan itu pertanyaanku Mak,” potongku.
“Bukan begitu caranya kalau ingin penjelasan!” suara emakku tegas. Baru kali ini kudengar suaranya setegas itu. Ada degup kecil di dadaku.
“Kalau engkau keluar sekarang, tentu kau dapat melihat kampung kita dah jadi apa. Sekarang pergilah engkau keluar, lihatlah apa yang telah terjadi. Kau lihat dengan mata kepalamu sendiri. Setelah itu baru kita bicara. Bapakmu pun akan bicara. Semua orang kampung ini pun akan bicara. Sekarang pergilah...”
Tak ada pilihan. Aku mesti keluar, mengikuti saran orangtuaku. Dan melihat dengan mata kepalaku sendiri, dan mencari tahu, apa sesungguhnya yang menyebabkan semua orang di kampung ini menjadi buta.
Baiklah, aku harus mandi dulu, sebelum melakukan perjalanan kedua di hari ini. Udara yang dingin dan air yang sejuk mengingatkan aku pada hari raya, ketika dipaksa mandi subuh.
Emak menyiapkan sarapan lempeng sagu dan air teh. Selesai mandi aku seperti kembali ke masa kecil ketika sarapan dengan lempeng sagu dan teh manis hangat.
***
Matahari naik sepenggalah.
Orang-orang sudah keluar rumah. Kalau petang semalam dan subuh suasana masih seperti kampung, tapi sekarang tidak. Berbagai jenis manusia lalu lalang di kampung ini.
Yang berkulit putih, berkulit hitam dan berkulit kuning ada. Yang terbanyak tampaknya sawo matang. Kulit, rambut, bentuk wajah, tinggi badan, semua hampir sama dengan orang kampung kami.
Tapi bahasa mereka agak lain. Ups, bukan bahasa! Kalau bahasa dia punya rumpun kata yang jauh beda. Tapi ini dialek. Dialek mereka agak lain, lebih kasar. Dan rata-rata orang ini kurang sopan, kurang santun, kurang pandai menyesuaikan diri, kurang beradab, bahkan banyak yang kurang ajar.
Di Praha aku pun berjumpa dengan orang seperti ini. Dengan sok mereka bicara dengan dialek daerah mereka didepan hidung bule yang terheran-heran: kok masih ada manusia yang bicara keras-keras, tanpa menyadari betapa orang yang mendengarnya sangat-sangat muak, loyo, serasa ingin muntah.
Orang seperti inilah yang memenuhi kampung kami. Perilaku tak sopan yang sudah biasa mereka terapkan pada orang-orangtua mereka, ingin dilakukan di kampung ini. Malin Kundang anak durhaka, kini berserak di kampung ini.
Maka jadilah kampung ini daerah tak berperadaban. Mobil penumpang diisi sepenuh-penuh orang. Di mobil itu speaker yang mengeluarkan musik menghentak-hentak, berdentum-dentum sampai bergetar jantung di dada ini. Tak ada lagi keindahan sebuah kota.
Bersamaan dengan itu, para pemudanya pamer merokok sehingga mobil ini seperti dapur zaman dahulu, sebu oleh asap yang memedihkan mata.
Itu ketika berada di dalam mobil. Sebelumnya orang ditarik-tarik agar menaiki mobilnya, tak peduli apakah mobil jurusan itu yang akan dituju oleh orang yang ditarik.
Begitulah pukimmaknya mereka ini. Itu dari kalangan bawah.
Aku datangi toko dan kedai mereka berjualan. Pertama masuk mereka ramah-tamah. Tapi kalau batal membeli, semua keramahan tadi langsung berubah sinis dan ketus. Yang dari kalangan atas pun demikian. Hanya saja cara mainnya yang lebih tertutup.
Nah, kelompok inilah yang memenuhi kampung kami. Mereka datang dari sebuah wilayah yang tak berperadaban, masuk ke sebuah masyarakat yang halus budi pekerti dan mulia tingkah laku.
***
Pukul satu siang. Aku teringat kepada Nisa, anak Pri yang buta, yang sedang berlatih zapin. Betapa riangnya mereka, terlonjak-lonjak menyesuaikan langkah dengan irama empat kali empat sebagai rentak musik tradisi yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Kemudian Pri sendiri yang amat mahir menggesek biola, sekalipun matanya buta. Kiki, anak laki-laki yang lincah bermain gambus, walau matanya buta. Dinda, anak bungsunya, masih digendong bundanya, juga buta. Pak Haji Yusuf yang juga buta, terlihat di kelopak ingatanku.
Dengan lunglai aku melangkah balik ke rumah.
Rasa hatiku – tadi – ingin bertanya kepada Mak dan Bapakku, mengapa mereka membutakan matanya. Dan bagaimana ceritanya sehingga seluruh penduduk di kampung ini buta semua.
Tapi tak payahlah. Aku sekarang sudah mengerti. Dan... dengan bismillah, kuambil sebatang buluh sebesar ibu jari, kuruncingkan, lalu kubenamkan tepat pada kedua bola mataku.
Dan kini semuanya menjadi terang ....
***
Pekanbaru, 2002
Oleh: Azmi R Fatwa
Anggota DPRD Bengkalis dari F-PKS
0 Comments