Revolusi mental presiden terpilih Joko Widodo cuma jargon kosong tanpa keteladanan yang diperlihatkan kabinetnya. Jika para menteri yang menjadi pembantunya mengulang praktik korupsi, revolusi mental tidak pernah terwujud. Sebaiknya, revolusi mental itu diarahkan memperdalam penghayatan nilai-nilai Pancasila.
"Revolusi mental itu membutuhkan keteladanan. Kalau tidak ada keteladanan tidak memiliki arti apa-apa. Mestinya revolusi mental itu diarahkan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila," kata Bambang Sulistomo yang berbicara dalam diskusi terbatas, " Semangat Kebangsaan, Peluang dan Tantangan Dalam Masyarakat ASEAN dan Pasar Terbuka yang diselenggarakan Ryamizad Institute di Jakarta (Kamis, 11/9) seperti dilansir RMOL.
Dalam diskusi yang dimoderatori Mozes Latuihamalo itu, ikut jadi pembicara aktivis Ismail Arif dan Direktur Eksekutif Ryamizad Achmad Ridha.
Menurut Bambang, presiden terpilih Jokowi dan kandidat presiden Prabowo Subianto sebenarnya memiliki kesamaan yang dianggap kekiri-kirian.Karena tidak ramah terhadap ekonomi pasar. Dalam pembukaan UUD 1945 sendiri, lanjut Bambang, banyak kontainnya bernuansa sosialis. Hanya saja, menjadi khas Indonesia karena disitu tercantum nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Ini yang membedakan karena menjadi satu-satunya di dunia, dimana nilai sosialis tapi menghayati Ketuhanan. Sangat cocok secara kultural dengan nilai bangsa kita yang relijius," imbuhnya.
Sementara itu, Ismail Arif menambahkan, revolusi sebenarnya adalah mencipta. "Dulu saya pernah mengemukakan potong satu generasi kemudian diprotes dimana-mana. Padahal yang saya maksudkan bukan memotong dalam umur, melainkan kembali pada jiwa luhur bangsa tentang Pancasila sebagaimana generasi terdahulu," terangnya.
Dijelaskannya, kembali pada nilai luhur bangsa merupakan suatu keniscayaan. Dia juga menunjuk, soal ketidak efisien yang merupakan ekses ekonomi liberal yang mesti dihindari. Secara konkrit, bagi bangsa ini yang membutuhkan APBN Rp 2000 triliun tidak perlu susah-susah bisa memperoleh dengan lakukan efisiensi di bidang Migas yang mencapai Rp 1000 triliun lebih dan efisiensi di bidang birokrasi yang mencapai ratusan triliun.
"Intinya mesti kembali pada nilai-nilai kejujuran dan tidak boros," pungkas putra Bung Tomo ini. (pm)