News Update :

[Cerpen] Kota Kehancuran


UNTUNGLAH aku jadi berangkat pagi itu. Dengan menumpang pesawat pertama, akhirnya aku dapat bercerita di Kuala Lumpur ini, tentang apa yang terjadi pada kota kami. Jika tidak, tentu aku senasib dengan seluruh penduduk kota yang baru saja kutinggal.

Agaknya dapatlah aku berkata: Hanya aku satu-satunya saksi hidup yang dapat menceritakan ihwal yang menimpa kota kami dalam kadar sebenarnya. Sebab di pesawat, hanya aku sendiri yang berkulit sawo matang. Lain dari itu, bule, orang India, Cina, serta Arab. Rupanya, sehari sebelumnya mereka sudah diberitahu oleh konsulat negara masing-masing, agar sesegera mungkin meninggalkan kota kami.

Sedang aku di pesawat ini tidak lebih dari sekedar pelarian, membawa hati yang mati, tergilas oleh congkaknya arus yang mendesak, agar menghadapi sebuah kenyataan apa adanya. Detak hati ini menyuruhku pergi, meninggalkan semua kenangan terhadap peradaban kota yang telah membesarkan aku.

Yah, apa boleh buat, akhirnya bencana itu betul-betul menimpa kota kami. Yang membuat aku selamat dari kehancuran itu adalah selisih waktu 17 menit. Pesawat kami take off pukul 8.50. Sedangkan kehancuran itu terjadi pukul 9 lewat tujuh menit. Untuk mengucap syukur atas keselamatan ini, aku tak sampai hati, sebab hampir semua kerabatku berada di kehancuran itu.

Dari tingkap pesawat masih dapat aku lihat gumpalan badai mengangkat sebuah hotel tidak jauh dari kawasan gubernuran, persis seperti kotak korek api terbawa angin pusak. Dan tak seberapa jauh dari itu, aku lihat, kantor gubernur pun terangkat, dibawa angin, dan terhumban  ke sungai. Pesawat kami pun tampaknya harus hati-hati jika tidak ingin tertabrak oplet, bus kota atau taksi yang beterbangan...

***
   
Di ketinggian ini, pesawat kami hampir saja ditabrak oleh seperdua bangunan kantor walikota yang diterbangkan badai gila ini. Ketika bangunan terbang itu mendekat, semua di pesawat ini menahan napas. Wanita dan anak-anak menjerit-jerit ketakutan.

Seorang Arab mengeluarkan tasbih besarnya. Si Cina paling bising, entah apa yang diucapkannya. Si Bule yang kelihatannya lebih tenang dari yang lain, bibirnya pucat pasi. Dan entah mengapa, si India ketawa-ketawa saja, menggeleng-gelengkan kepala.
   
Atas permintaan semua penumpang, pilot pesawat tidak langsung terbang ke kota yang dituju. Melainkan berputar-putar dulu melihat kota yang baru saja kami tinggal berangkat. “Kota kehancuran,” batinku.

Betapa tidak. Gedung tertinggi di kota ini, yang dibangun dengan biaya jutaan dolar, kini yang tampak dari atas ini tinggal puing. Entah kemana badan bangunannya. Padahal konstruksinya dari beton bertulang.
   
Sedangkan gedung DPRD terbongkas, terpelanting di suatu tempat yang aku tidak tahu dimana. Tapi melihat gedung bercat kuning itu menimpa deretan rumah-rumah, si Bule berkata: Demi Yesus Kristus, itu kan kompleks Teleju, tempat saya tidur tadi malam. Matilah si Nimar...”  gumamnya dalam bahasa Inggris aksen Brazil.
   
Begitulah kota kami hancur selebur-leburnya. Aku kira mungkin inilah agaknya akhir zaman. Tapi mengapa kehancurannya tidak seperti yang aku bayangkan waktu kecil? Dulu, Pak Haji Aziz, guru kami, mengatakan, pada hari kiamat manusia bagai anai-anai beterbangan.
   
Tapi ini yang beterbangan malah gedung-gedung, perkantoran, mobil, rumah. Tidak ada manusia beterbangan seperti anai-anai. Dan anehnya lagi, kalau memang benar kiamat, mengapa kami masih bisa menyaksikan peristiwa ini? Katanya, kalau hari kiamat, semua orang dimatikan oleh satu teriakan dahsyat, begitu sangkakala ditiup. Tapi ini tidak. Kami masih bisa naik pesawat terbang.
   
Lantas, apakah yang terjadi sesungguhnya? Menunggu laporan wartawan dari kota kami tentu saja tidak mungkin, sebab melihat kehancuran dari ketinggian ribuan kaki ini, tentulah semua penduduk, tak terkecuali wartawan, tewas. Tadi aku juga lihat gedung PWI ikut punah-ghanah. Kalau dalam urusan lain, bolehlah wartawan minta keistimewaan. Tapi kali ini pasti tidak. Sebab kehancuran benar-benar terjadi secara total.
   
Puluhan orang di atas pesawat ini terheran-heran menyaksikan kehancuran kota kami. Aku yang tahu sebab musabab asal usul malapetaka ini tidak terlalu sibuk menjengah keluar jendela. Dan rupanya seisi pesawat memandang aneh ke aku. Mereka heran, mengapa aku malah sibuk menghitung-hitung tasbih.

Setelah lama senyap, baru kudengar suara:
   
“Tuan,” kata si Bule, dalam bahasa Inggris, “Mengapa Anda tidak melihat ke bawah?”
Lantas kujawab: “Karena di bawah itu kota kami.”
“Tapi mengapa Anda tidak menunjukkan ekspresi sedih atau...”
“Karena aku tahu apa yang tidak kalian ketahui,” potongku.
   
Si India yang sejak tadi geleng-geleng kepala, dalam bahasa Inggris petah, minta saya menjelaskan apa sesungguhnya telah terjadi pada kota yang baru saja kami tinggalkan. Seorang pramugari yang menangkap pembicaraan kami, bergegas masuk ke cockpit.
   
Tak lama setelah itu pilot yang berkebangsaan Prancis mendekati dan menyapaku.
   
“Pak Tajul,” sapanya dalam bahasa Inggris keprancis-prancisan. “Anda penduduk asli kota yang baru saja kita tinggalkan?”
   
Aku mengangguk. Kini semua mata terarah kepadaku. Kubalas tatapan mereka satu demi satu. Si Pilot berpaling ke arah luar jendela, menyaksikan puing-puing kota kami, diikuti oleh pasang mata yang lain. Sejenak seluruh isi pesawat senyap. Hanya detak sepatu pramugari yang terdengar di ruang belakang dan deru mesin pesawat ini.
   
“Apa arti semua ini? Dunia belum kiamat, tapi kota kalian sudah kena armagedon seperti tertuang dalam Alkitab,” katanya.
   
Tidak segera kujawab pertanyaan itu. Menarik napas dalam-dalam, memandang ke bawah. Memainkan bibir. Mengedipkan mata berkali-kali. Cuma itulah yang kulakukan sebelum menjumpai jawaban yang tepat. Ketika jawaban kudapat, aku harus merangkai kalimat yang tepat, sehingga yang mendengarkan tidak salah tangkap.
   
Akhirnya aku berkata:
“Itulah kalau kepentingan menjadi ideologi!”
Semua mata heran, tak paham maksudku.
“Apa maksud Tuan?”
Kutarik napas dalam-dalam tiga kali. Mata mereka tak berkedip ke arahku.
   
“Negeri kami itu tidak diurus dengan betul. Kepentingan menjadi dasar pengambilan keputusan. Intelektual banyak. Koran banyak. Mahasiswa banyak. Setiap hari cendikiawan mengkritik, budayawan berbicara tentang pembangunan yang berat sebelah. Anjuran: jangan lakukan ini, jangan lakukan itu, pakai jalan ini, jangan tempuh yang itu... tak pernah dipeduli.
   
Aku berkata perlahan-lahan dalam bahasa mereka membuat semua mereka terdiam menyimak setiap kalimat yang keluar dari mulutku.
   
“Setiap minggu mahasiswa berunjukrasa. Setiap hari koran memberi peringatan. Tapi semua tak menjadi perhatian Walikota. Dia, sebagaimana seorang dokter yang membeli gelar profesor di kota itu, asyik dengan permainannya sendiri, dikelilingi oleh pengusaha yang sentiasa membenarkan dan memuji-muji keputusan sang Walikota. Ujung dari permainan itu adalah bagi-bagi proyek, dan Pak Walikota minta persenan dari proyek itu... “
   
Tak satu pun dari yang mengelilingiku berkedip.
   
“Sudah terlalu banyak orang mengingatkan, mulai dari cendikiawan dalam negeri, budayawan, sampai Kepala Negara asing pun pernah secara halus mengatakan agar segera diadakan perbaikan pada sistem lelang tender dan pengeluaran tak jelas pada proyek pembangunan. Namun semuanya dianggap angin lalu... “
   
Mereka masih terperangah mendengar ceritaku.
   
“Maka, gedung pun dibangun asal jadi. Jalan dibuat dengan prinsip: yang penting selesai. Sekolah buruk dirobohkan dan diganti yang baru. Dan minggu lalu...
Aku terhenti, menarik napas lagi, membuat mereka yang mendengar makin tak sabar.
“Apa yang terjadi minggu lalu?” tanya mereka hampir serempak.
   
“Walikota memutuskan agar mesjid terbesar dan termegah di kota itu dirobohkan, dan dibangun dengan yang baru!”
   
Mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulutku, seluruh mata orang di pesawat itu terbelalak mengekspresikan kekecewaan masing-masing. Dalam sekejap suasana pesawat itu riuh oleh celoteh, gumam, umpatan serta segala macam caci maki penyesalan atas apa yang menjadi penyebab kehancuran kota kami itu.
   
“Masjid dirobohkan?” bunyi satu suara.
“Mana boleh masjid tempat ibadah dirobohkan. Tidak boleh!” seru suara yang lain.
“Sekalipun kita orang Katolik, kita tetap tak setuju jika ada tempat ibadah dirobohkan, walaupun untuk dibangun baru,” ujar yang lain pula.
“Ya, kami ini agama Budha, juga tidak sependapat jika ada masjid dirobohkan.”
“Bukankah lebih bagus bangun masjid baru di tempat lain. Itu jauh lebih untung,” ujar si Cina.
“Ya, sebaiknya bangun saja masjid baru, yang sudah ada jangan dirobohlah... Itu kan rumah Allah,” tutur si Arab.

Pembicaraan tentang kota kami yang hancur menjadi tema utama semua penumpang pesawat. Dan tidak lama lagi, pesawat kami hampir tiba di Kuala Lumpur. Rupanya kejadian yang menimpa kota kami sudah tersebar diseluruh dunia. Seorang penumpang berkebangsaan Arab menunjukkan berita di cnn.com yang baru saja dicopi dari laptop-nya.
   
Begitu turun dari pesawat, puluhan kamera dan ratusan reporter dari berbagai media massa seluruh dunia menyambut kedatangan kami: Selamat datang rombongan yang selamat dari kota kehancuran!” tulis sebuah spanduk dalam bahasa Inggris, India dan Cina.
   
Hampir semua penumpang yang turun sibuk melayani pertanyaan wartawan. Aku mencoba cari jalan keluar lain, dari pintu belakang, sehingga luput dari sorotan kamera dan todongan mic si reporter yang selalu hanya minta statement.
   
Tidak ada yang menyambutku di kota ini: Kuala Lumpur yang begitu asing, akhirnya terpaksa ku akui sebagai Tanah Airku. Karena dari semua penyebab yang aku ceritakan pada orang-orang yang ingin tahu ceritaku, cuma satu hal yang tidak aku katakan terus terang.

Biar aku sendiri yang menjelaskan kepahitan ini kepada anak cucuku nanti, bisik hatiku. Bahwa kota kami sekarang diserbu oleh jutaan pendatang, melebihi jumlah penduduk tempatan... sehingga membuat masyarakat setempat minoritas di Tanah Kelahirannya sendiri. Dan, mereka menganggap kota kami itu sebagai kampungnya sendiri, menerapkan kebiasaan serta tradisinya sendiri...!
   
Yah, pendatang telah menyebabkan kehancuran kota kami. Nilai-nilai luhur masyarakat setempat diinjak-injak oleh mereka yang datang tak membawa peradaban seketil pun.
Kini, kota kami betul-betul telah menjadi kota kehancuran....!

***

Pekanbaru, 10 Februari 2002

Oleh: Azmi Rozali S.IP, M.Si.
Anggota DPRD Kabupaten Bengkalis dari F-PKS
Share Artikel ini :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar