Kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini semakin besar porsinya dalam pemberitaan media nasional. Entah realita yang terjadi memang demikian, atau hanya blow up isu yang berlebihan. Terlepas dari itu, secara tidak sadar masyarakat Indonesia dikagetkan dan dipaksa menerima bahwa negara ini sedang darurat kekerasan seksual. Fakta bahwa penyimpangan seksual berupa seks diluar nikah dan kekerasan seksual pada anak memang terjadi, tapi frekuensi dan kualitas terjadinya kasus bisa menjadi bias ketika kasus itu harus di blow up secara terus menerus melalui media.
Sedikit atau banyak, faktor pemberitaan juga mempengaruhi cara pandang seseorang dan dapat mengubah pola pikir. Contohnya, pemberitaan yang masif mengenai kekerasan seksual akan membuat persepsi masyarakat bahwa kasus ini sudah biasa terjadi. Alih-alih membuat pelaku jera dan timbul ketakutan masyarakat supaya tidak melakukan hal tersebut, karena tidak adanya sanksi hukum yang tegas justru menciptakan peluang-peluang baru bagi calon pelaku.
Televisi dalam menampilkan tayangan kepada publik juga mempengaruhi perubahan budaya masyarakat Indonesia. Di era 90-an, tayangan berupa sinema FTV maupun sinetron lebih banyak bernuansa super hero atau tokoh yang memiliki kekuatan magis. Di masa kini, sinetron lebih didominasi oleh kasus-kasus percintaan. Belum lagi muncul sinetron-sinetron yang bermuatan sangat tidak mendidik.
KPI baru-baru ini merilis judul-judul sinetron yang dianggap meresahkan dan membahayakan pertumbuhan fisik dan mental anak serta mempengaruhi perilaku kekerasan terhadap anak. Judul-judul sinetron yang provokatif juga berpeluang menimbulkan persepsi berbeda dari anak dibawah umur, seperti: Sumpah Pocong Di Sekolah, Aku Dibuang Suamiku Seperti Tisu Bekas, Mahluk Ngesot, Merebut Suami Dari Simpanan, 3x Ditalak Suami Dalam Semalam, Aku Hamil Suamiku Selingkuh, Pacar Lebih Penting Dari Istri, Ibu Jangan Rebut Suamiku, Istri Dari Neraka aka Aku Benci Istriku. Pacaran menjadi sesuatu yang lumrah di kalangan anak-anak karena dalam banyak tayangan televisi justru adegan tersebut ditampilkan oleh anak-anak pula.
Label R-BO (Remaja-Bimbingan Orang tua) hanya menjadi label pemanis dari siaran televisi, karena faktanya sangat sedikit anak yang ditemani orang tua ketika menonton tayangan tersebut. Lalu dimana efek kekerasan seksual dari televisi?
Sinetron dan FTV menjadi tontonan alternatif bagi semua kalangan di waktu luang. Dari mulai anak kecil sampai usia lanjut, semua bisa menikmati. Kondisi yang tanpa batas ini yang menimbulkan bias bagi perkembangan anak. Selama ini anak hanya diberikan ilustrasi tanpa pencegahan, proses ilustrasi juga cenderung menempatkan korban sebagai pihak yang pasrah.
Ilustrasi tersebut bisa menjadi inspirasi bagi pelaku yang notabene berusia remaja keatas, memanfaatkan kepolosan seorang anak yang belum sepenuhnya memahami mengenai hal-hal seksual. Kondisi penasaran atas ilustrasi yang sering didapatkan anak dalam televisi juga mempengaruhi anak menjadi korban yang pasrah. Celakanya, 'virus' ini menular sangat cepat. Korban yang merasakan hal ini sangat berpeluang besar menjadi pelaku selanjutnya. Proses ini seperti terciptanya zombie dalam film Hollywood, tidak pernah habis karena korban yang terkena serangan dalam sekejap berubah menjadi calon pelaku.
Ada sebuah penelitian yang mengungkapkan dampak negatif sinetron bagi anak yaitu: anak menjadi malas belajar, mengikuti gaya tokoh dalam sinetron (misalnya memakai accsessoris yang tidak pantas digunakan pada waktu sekolah), berani melawan orang tua dan guru, menjadi anak yang sok kaya, dan lain-lain.
Referensi:
http://www.merdeka.com/peristiwa/kpi-10-sinetron-ini-tak-layak-tonton.html
Oleh: Abdullah Mujaddidi (Muja)
*)http://heymuja.com/