Semakin mendekati pemilihan presiden, semakin giat pula capres dan cawapres bergerlya mencari dukungan. Yang marak, akhir-akhir ini, adalah mencari dukungan ke kantong-kantong islam. Sebagai mayoritas penduduk Indonesia tak heran massa islam adalah massa yang paling potensial dalam era demokrasi Indonesia saat ini.
Beberapa waktu lalu, banyak media memberitakan capres dan cawapres rajin berkunjung ke pesantren-pesantren. Atau ada juga kampanye capres yang menunjukkan foto sedang sholat, memakai kopiah, sedang umroh, memakai gelar haji, sedang ceramah dan sebagainya. Simbol-simbol islam dipakai saat mencari dukungan. Digunakan sebagai penarik hati massa. Menonjolkan kesan ‘islamis’ walaupun mungkin pandangan politiknya bukan islam.
Simbol
Dalam kampanye memang wajar menggunakan simbol sebagai alat propaganda. Dan Nimmo menyebutkan bahwa dalam kampanye persuasif sebaiknya memang menggunakan lambang dan media yang tepat didasarkan pada psikologi sosial sasaran. Setiap kampanye dan propaganda ditujukan untuk mengontrol opini. Memberikan kesan hingga terbentuk opini tertentu yang menjadi tujuan. Harold D. Lasswell menegaskan hal ini bahwa aktivitas propaganda adalah semata-mata merujuk pada kontrol opini dengan simbol-simbol penting, atau berbicara dengan lebih konkret melalui cerita, rumor, berita, gambar atau bentuk-bentuk komunikasi visual lainnya.
Tak heran bila para capres memanfaatkan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama islam ini sebagai ceruk massa paling besar. Diperebutkan dukungan dan suaranya. Masyarakat cenderung memperhatikan aspek visual. Dari simbol yang mudah dilihat atau hal lainnya yang mudah diindera. Kunjungan ke pesantren dengan ditambah tampilan yang islamis adalah strategi visual yang baik untuk ditampilkan media. Dalam waktu ini, hal itu masih menjadi strategi kampanye yang jamak dilakukan.
Eep Syaefullah Fatah menyebutkan dalam salah satu kolomnya, istilah “islam hammer.” Islam yang dijadikan perkakas oleh kekuatan di luar dirinya untuk memukul sesuatu yang didefinisikan sebagai "musuh bersama.” Tugas sang palu pun berakhir setelah sang musuh terpukul koma atau mati. Sang palu lalu ditaruh kembali di tempat perkakas di gudang sejarah.
Salah satu yang perlu diperhatikan menurutnya adalah kalangan islam yang kerapkali sibuk dengan soal kulit. Terjebak pada kemasan bukan isi. Eep mencontohkan bahwa kalangan islam seringkali terjebak untuk bergembira menyambut label halal pada produk makanan, dan tidak memperdalam disuksi pada accountable prosedur dan praktek ekonomi-politik di balik labelisasi itu.
Menurut saya, bila umat islam hanya mengurusi hal-hal simbolik maka kita akan terjebak pada permukaan saja. Tanpa menyentuh aspek yang lebih substantif. Dalam hal ini maka umat Islam harus menuntut dari capres soal kebijakan politik, ekonomi, dan sosial budaya seperti apa yang akan mereka lakukan dalam rangka memperjuangkan kepentingan umat.
Suara umat jangan mau hanya digunakan sebagai komoditas. Komoditas yang diperebutkan selama masa pemilu. Setelah dipilih dan menang lalu dilupakan. Umat islam harus berani menawarkan kontrak politik yang detil, rinci dan mengikat. Kalau dalam kampanye para capres pamer simbol, kontrak politik pun harus jelas simbol keislamannya. Modal sosial, terutama dari segi populasi, umat islam harus dikonversi menjadi modal dan bargaining politik yang kuat.
Nah, kira-kira capres mana yang menawarkan kontrak politik semacam itu?
Triyanto P. Nugroho
Pengamat Politik
0 Comments