Persaingan dua pasangan capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) semakin ketat. Hal itu terungkap dari hasil survei Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) terkait dengan persepsi dan perilaku publik terhadap elektabilitas capres-cawapres pada Pilpres 9 Juli mendatang.
Direktur Puskaptis Husin Yazid mengatakan, survei dilakukan mulai 20 Mei di hari terakhir pendaftaran para kandidat ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Survei yang menggunakan teknik multistage random sampling dilakukan di 33 provinsi, 53 kabupaten/kota dan 159 kecamatan. Sedangkan jumlah sampel desa atau kelurahan yang diambil sebanyak 477 desa dengan responden 1.250 orang berusia di atas 17 tahun.
“Metode survei dilakukan dengan wawancara tatap muka dengan margin error 2,8%,” ujarnya di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, kemarin.
Hasilnya, elektabilitas pasangan Jokowi-JK sebesar 43,72% sedangkan pasangan Prabowo-Hatta sebesar 40,28% dengan jumlah swing voters atau mereka yang belum menentukan pilihannya tapi akan berpartisipasi pada pilpres nanti sebesar 16%. Hasil ini membuat pasangan capres yang diusung PDIP, Hanura, PKB, NasDem dan PKPI unggul 3,44% dari pasangan Prabowo-Hatta yang diusung Partai Gerindra, PPP, PKS, PBB, PAN, dan Golkar.
“Karena margin error 2,8% maka kedua pasangan capres cawapres ini memiliki peluang yang sama kuat untuk memenangkan pertarungan, dimana penentunya adalah pemilih mengambang yang jumlahnya mencapai 16%. Mereka umumnya adalah kalangan menengah,” jelasnya.
Husin menjelaskan, tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia terhadap pilpres sangat tinggi yakni 98,57%. Ironisnya, hal ini tidak diikuti oleh partisipasi pemilih yang masih sangat rendah yakni 73,45%. Untuk itu, peran Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panwaslu, pemerintah, dan partai politik harus menggiatkan sosialisasi untuk meningkatkan partisipasi publik.
Dalam survei tersebut, sebanyak 77,33% responden menyatakan alasan mereka ikut pilpres karena merupakan kewajiban sebagai warga negara. Sedangkan, alasan publik memilih pasangan Prabowo-Hatta karena pasangan ini dinilai sebagai figur pemimpin yang berkarakter tegas sebanyak 33,80%, berwibawa 14%. Kemudian percaya dengan niat baiknya membangun bangsa 11,97%, berani 4,93% dan adanya anggapan bahwa pemimpin dari militer masih diperlukan 9,86%.
Sedangkan, alasan publik memilih pasangan Jokowi-JK lebih banyak karena kepribadian yang rendah hati dan ramah kepada rakyat 16,27%, gemar blusukan 10,71%, sosok yang jujur, perhatian pada rakyat dan memiliki kinerja yang baik masing-masing 7,14%. Selain itu, sosok yang sederhana 6,75%.
Saat ini, tren pasangan capres Jokowi-JK saat ini cenderung negatif dan terus mengalami penurunan. Berbeda dengan pasangan Prabowo-Hatta yang trennya positif dan terus mengalami kenaikan. Kondisi ini mengingatkan pertarungan Pilkada DKI Jakarta beberapa tahun lalu, dimana tren calon incumbent Fauzi Bowo atau Foke yang cenderung negatif berhasil dikalahkan dengan Jokowi yang trennya positif. Begitu juga pada Pilgub Jabar dimana tren Ahmad Heryawan (Aher) yang positif berhasil mengalahkan Dede Yusuf yang kecenderungannya negatif.
Elektabilitas Jokowi yang cenderung stagnan bahkan turun ini, sambung Husin, sangat terlihat ketika Gubernur DKI Jakarta itu dipasangkan dengan JK. Padahal, sebelum dipasangkan elektabilitas Jokowi jauh di atas Prabowo hingga mencapai 15%. ”Ini karena JK titik tumpunya ada di daerah timur, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara Timur dan Maluku,” ujarnya.
Penurunan elektabilitas Jokowi-JK sangat terlihat di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera yang penduduknya terbesar di Indonesia. Berdasarkan hasil survei Penurunan di Pulau Jawa terjadi di daerah Jawa Timur yang pemilihnya 30 juta. Dimana capres Prabowo memperoleh 50,25% sedangkan Jokowi-JK sebesar 36,04% dengan swing voters 13,71%.
Hal ini disebabkan adanya perpecahan di tokoh-tokoh Nahdliyin seperti, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo atau Pakde Karwo yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta. “Pengaruh tokoh terhadap nahdliyin sangat besar, begitu juga di daerah Sumatera. Selain itu, mantan Wali Kota Solo saat ini sudah mengalami titik stagnan,” jelasnya.
Karena itu, kunci penentu kemenangan mereka ada pada swing voters yang berada di perkotaan. Mereka merupakan kalangan menengah atas dengan pendidikan merata. Jadi bagi timses yang berhasil meraih suara mengambang di wilayah-wilayah tersebut akan menjadi pemenang. “Swing voters 16% masih sangat memungkinkan bagi kedua pasangan untuk meningkatkan elektabilitasnya,” paparnya.
Namun demikian, elektabilitas kandidat dapat dipengaruhi oleh black campaign atau kampanye hitam. Menurut dia, tindakan itu dapat menguntungkan lawan jika kampanye hitam tidak didasarkan oleh data-data yang kuat. “Sangat berpengaruh, karena masyarakat akan melihat siapa yang menyebarkan black campaign tersebut,” katanya.
Untuk menarik simpati suara mengambang tersebut, hal yang harus dilakukan timses adalah jangan menyebarkan black campaign, kerja keras melakukan pendekatan kepada masyarakat sesuai dengan sosial, budaya, agama, kampanye yang soft, program yang realistis, kemudian pemanfaatan media televisi dan media sosial untuk menarik simpati mereka yang umumnya secara ekonomi dan pendidikannya cukup tinggi.
Peneliti Senior Puskaptis Ma’mun Ibnu Ridwan mengatakan, tingkat elektabilitas pasangan capres Jokowi-JK berdasarkan pulau unggul di Pulau Sulawei, Bali, NTT, Maluku dan Papua. Sedangkan untuk pasangan Prabowo-Hatta unggul di daerah Sumatera dan Kalimantan. “Hal ini harus menjadi perhatian timses yakni wilayah Pulau Jawa harus ditingkatkan perolehan simpati publik karena 59% penduduk Indonesia tinggal di Indonesia,” katanya.
Menurut dia, pasangan Prabowo-Hatta harus bekerja keras untuk menyakinkan masyarakat yang belum menentukan pilihan. Hal yang menarik lainnya, kata dia, dari sisi perspektif sosial politik dua kandidat ini mempunyai kans yang sama. Sebab, menggambarkan kesukuan, agama dan kompetensi serta kapabilitas yang seimbang. “Banyaknya swing voters ini sangat luar biasa, sebab biasanya masyarakat akan mudah memilih hanya ada dua calon. Tapi ketika mereka belum menentukan, berarti ada masalah yang besar dari kedua calon ini untuk meyakinkan 16% dari total pemilih se-Indonesia,” jelasnya.
Pengamat Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai, turunnya elektabilitas Jokowi-JK karena pasangan tersebut sangat bergantung pada tren politik yang berkembang. Naman Jokowi terkenal dari peluncuran mobil Esemka, dan kemampuannya mengalahkan Fauzi Bowo atau Foke pada Pilkada DKI Jakarta lalu. Sayangnya tren politik itu tidak dijaga oleh timsesnya. “Jokowi lebih kepada selebriti politik, ketika orang sudah mengenalnya, publik merasa ya sudah selesai,” jelasnya.
Berbeda dengan Prabowo yang memang sudah dikenal dan disiapkan sejak menjadi cawapres Megawati Soekarnoputri pada pemilu 2009 lalu. Menurut dia, untuk menaikkan elektabilitasnya, Prabowo harus bisa mengubah pola pendekatannya kepada masyarakat. Selama ini ada kesan pasangan Prabowo-Hatta adalah koalisi elite. “Pencitraan Jokowi yang tidak dimiliki Prabowo adalah sisi manusianya. Prabowo harus lebih merakyat, banyak berdialog, banyak salaman dan senyum,” ucapnya. (hyk)
*)http://pemilu.sindonews.com/read/2014/05/31/113/868697/persaingan-prabowo-jokowi-makin-ketat