Nasib benda ini akhirnya berakhir tragis, jadi ganjalan pintu ruang tamu. Jika dibutuhkan bisa juga jadi ganjalan ban mobil truk di tanjakan. Masih mendinglah, setidaknya gak jadi ganjalan hati yang gundah.
Masih ada temennya segepok-gepok seperti ini di bufet kamar gw. Memang gak sempat dibagi-bagikan. Sebagian sudah dipake anak gw jadi mainan kartu-kartuan. Sebagian lagi disebar di sudut² rumah sebagai eksperimen pengganti kapur bagus dengan harapan bisa ngusir semut dan kecoak.
Benda ini adalah kartu nama, bagian dari alat peraga kampanye pilcaleg kemaren. Di kartu ini tertera sederet nama asli gw yang jauh dari kesan keren jika parameter nama keren kawula muda masa kini itu Aliando atau Verrel Bramantyo. Di tengahnya terpampang foto terganteng gw, yang gw tau banget kalo ini hasil kerja keras efek smudge tools photosop. Jangan coba² mengelabui gw dalam hal ini.
Kartu ini sumbangan dari partai, didesain dan dicetak tanpa sepengetahuan gw, karena gw memang udah komitmen gak mau buat kartu nama, stiker, baliho, atau properti kampanye lainnya. Gw ngotot gak mau buat bukan karena mengandalkan popularitas ataupun elektabilitas, melainkan karena anggaran yang paspas. Hiks.. Mengingat sebiji baliho dua meter sama budgetnya dengan sekarung beras kepala super.
Sejak awal gw memang gak pengen jadi caleg mainstream. Gw gak ikut euforia kampanye di saat caleg² lain ada yang sibuk berjanji sampe dehidrasi, atau yang orasi sampe rahang dislokasi. Jadi secara moril gw gak ada beban terpilih atau tidak.
Makanya saat seabrek kartu nama ini diantar pak pos ke rumah, sempat gw kira salah alamat, karena perasaan gak pernah mesan. Bukan cuma kartu nama sih, ada juga beberapa baliho yang dibuat dan dipasang di beberapa sudut kota atas inisiatif partai. Fotonya tinggal dicomot dari foto gw di buku pendaftaran caleg. Bayangin aja pasfoto dibikin baliho, ekspresi kaku dikasih efek border clip art, walhasil sepintas di kejauhan terlihat kayak sampul buku Yasin. Untung gak ada tulisan innalillahi.
Rada heran juga waktu difasilitasi partai, karena pada dasarnya gw bukan kader. Setahu gw kader itu temennya Doyok. Eeh itu Kadir ya.. Garing ah. Maksudnya gw caleg yang gak berasal dari partai. Jadi status gw waktu itu dipinang dengan hamdalah.
Orang² partai tempat gw bernaung jadi caleg ini sepanjang yang gw tau semuanya baik², orang² pekerja keras yang sungguh menjaga akhlak. Ketemuannya aja lebih sering di mesjid ketimbang di kafe layaknya kopdar politikus pada umumnya. Sayang sekali, kelakuan oknum² di pusat, ditambah efek viral media massa, imbasnya hingga ke akar rumput. Orang² baik di daerahpun mau gak mau kecipratan cap gak benernya. Ya namanya juga resiko. Bahkan menulis yang baik² tentang mereka seperti inipun gw beresiko kena bully. Jadi ya sudahlah..
Tapi walaupun gw gak terpilih jadi wakil rakyat, dan sekarang udah back to basic jadi karyawan kasta sudra, gw komit tetap menjalin silaturahmi dengan mereka.
Semua ada hikmahnya. Setidaknya gw sudah pernah merasakan jadi bagian dari kelompok orang² yang paling dibully nomor dua di negeri ini. Karena yang paling dibully urutan pertama masih disandang oleh jomblo. Teteup..
Perceraian dengan partai dan gagal nyaleg insyaallah gak akan membuat gw jadi depresi, ataupun bipolar, apalagi sampe lepas hijab. Hiiiy.. Lagipula istri gw juga ikut senang. Alhamdulillah. Karena selama gw gak jadi anggota dewan, kalo gw bilang sayang atau cinta padanya itu artinya bukan sekadar omong kosong. Eeea..
Padahal sebenarnya sempat gw rencanakan beberapa program andai terpilih. Seperti misalnya pengadaan jam weker untuk setiap anggota dewan yang berbunyi tiap jam² tidur siang, pemenuhan kebutuhan suplemen ginkgo biloba, dan juga studi banding ke Bikini Bottom untuk penelitian kehidupan bawah air jika terjadi banjir besar yang sempat jadi permasalahan di daerah ini.
Tapi gak apa², toh program ini gak akan mubazir, karena bisa gw pake di kemudian hari kalo suatu saat gw khilaf nyaleg lagi. Tapi kayaknya agak berat juga sih, gw mau nyaleg lagi kecuali sistem pencalegan gak pake penghitungan kertas suara, tapi pake like fesbuk.
Senin kemarin, 35 wakil rakyat terpilih DPRD Kota ini udah dilantik. Gw ikut senang melihatnya, karena sebagian di antaranya adalah kenalan gw, sesama alumni rumah sakit jiwa. Eeh.. Maksudnya kemaren sama² tes kejiwaan di Rumah Sakit Jiwa sebagai salah satu prasyarat jadi anggota legislatif.
Pada akhirnya, gw cuma bisa doakan teman² semoga istiqomah di jalan kebenaran. Jaga amanah, tetaplah sederhana. Karena fasilitas dan gaji kadang membuat orang hilang nurani.
Ingat kata D'massiv: syukuri Alphard yang ada, Hilux adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, ngangkot tetap yang terbaik..
(Arham Rasyid)
*FYI gak penting: tulisan ini gw ketik di BB, pake jempol sambil ngayun anak. Hufft... Tukang urut, mana tukang urut*