Oleh Mochamad Ilyas*
• Ketika seseorang melakukan perjalanan maka diperbolehkan baginya untuk meringkas shalat dan/atau menggabungkan dua shalat. Yang dimaksud meringkas (qashar) adalah menjadikan shalat Dzhuhur, Ashar, dan Isya menjadi hanya dua rakaat. Adapun yang dimaksud menggabungkan (jama’) adalah melaksanakan dua waktu shalat dalam satu waktu yaitu: menggabungkan pelaksanaan shalat Dzhuhur dan Ashar di waktu Dzuhur atau di waktu Ashar, dan menggabungkan pelaksanaan shalat Mahgrib dan Isya di waktu Maghrib atau di waktu Isya.
• Seseorang dalam perjalanan diperbolehkan baginya melakukan meringkas/qashar shalat saja yaitu: shalat Dzuhur, Ashar dan Isya hanya dengan masing-masing dua rakaat saja dilaksanakan di waktunya masing-masing. Boleh juga baginya melakukan penggabungan/jama’ saja tanpa qashar yaitu: melakukan shalat Dzuhur dan Ashar di waktu Dzhuhur atau di waktu Ashar masing-masing empat rakaat, dan melakukan shalat Maghrib dan Isya di waktu Maghrib atau di waktu Isya masing-masing untuk shalat Maghrib tiga rakaat dan shalat Isya empat rakaat.
• Demikian juga seseorang yang tengah dalam perjalanan dibolehkan meringkas (qashar) sekaligus menggabungkan (jama’) dua waktu shalat, yaitu: melakukan shalat Dzuhur dan Ashar di waktu Dzhuhur atau di waktu Ashar masing-masing dua rakaat, dan melakukan shalat Maghrib dan Isya di waktu Maghrib atau di waktu Isya masing-masing untuk shalat Maghrib tiga rakaat dan shalat Isya dua rakaat.
• Terkait bagaimana niat melakukan shalat dengan cara diringkas dan/atau digabungkan, pada dasarnya tidak ada redaksi tertentu yang harus diucapkan saat berniat akan shalat. Cukup baginya berniat di dalam hati bahwa dirinya akan melaksanakan shalat dengan cara diringkas dan/atau digabungkan.
• Melakukan shalat dengan cara diringkas dan/atau digabungkan diperbolehkan dilakukan di atas kendaraan termasuk ketika sedang berada di dalam pesawat. Adapun cara shalat di kendaraan/pesawat, jika memang di kendaraan/pesawat tersebut tersedia tempat untuk shalat maka kerjakanlah di tempat tersebut. Jika tidak tersedia maka kerjakanlah sesuai kemampuan dan kondisi yang memungkinkan. Biasanya posisi yang memungkinkan untuk melakukan shalat di kendaraan/pesawat adalah shalat dengan cara duduk di tempat duduk, caranya dengan shalat sambil duduk di tempat duduk dengan posisi mengarah ke arah mana saja kendaraan itu menghadap kemudian memulai shalat seperti biasa hanya saja saat akan ruku’ dan sujud tidak dilakukan secara normal, yaitu ruku’ dengan cara menundukkan kepala dan punggung kita ke bawah sementara dua telapak tangan kita ditempatkan di dua lutut. Adapun cara sujud sama seperti saat ruku’. Bagaimana cara membedakan ruku’ dan sujud ketika shalat sambil posisi duduk? Cara membedakannya adalah: saat sujud tundukkan kepala dan punggung ke bawah lebih rendah daripada saat melakukan ruku’.
• Harus diperhatikan pula bahwa pelaksanaan shalat harus disesuaikan dengan waktu di mana kendaraan/pesawat tersebut berada. Dalam kaitan ini, disarankan untuk bertanya kepada kru pesawat terkait sedang berada di wilayah mana posisi pesawat sehingga kita dapat secara tepat melakukan shalat sesuai waktu wilayah posisi pesawat sedang berada.
• Demikian juga, jika tidak memungkinkan berwudlu saat akan melaksanakan shalat di pesawat, maka diperbolehkan baginya untuk melakukan tayammum, yaitu bersuci dengan tanah/debu dengan cara menepuk dua telapak tangah kita ke kursi atau kabin pesawat lalu mengusap muka dan tangan sampai pergelangan tangan dengan dua telapan tangan tersebut.
• Bagi seseorang yang tengah melakukan perjalanan tidak diwajibkan baginya untuk mengikuti shalat Jumát, namun ia tetap diwajibkan untuk melakukan shalat Dzuhur dengan cara diringkas (qashar) dan/atau digabungkan dengan shalat Ashar, baik pelaksanaannya itu di waktu Dzuhur atau di waktu Ashar. Namun demikian, jika tetap melakukan shalat Jumát, maka ia tidak perlu lagi melakukan shalat Dzhuhur.
• Perlu diperhatikan bahwa penyebab diperbolehkannya untuk meringkas dan/atau menggabungkan shalat tersebut dikarenakan ia melakukan perjalanan, terlepas apakah perjalanannya tersebut dapat ditempuh dalam waktu singkat atau cepat, yang penting jarak tempuh seseorang tersebut sudah dikategorikan sebagai sebuah ‘perjalanan (safar)’. Memang terdapat perdebatan tajam di antara para fuqaha (pakar hukum Islam) terkait berapa jarak tempuh minimal sehingga dapat dikategorikan sebagai sebuah ‘perjalanan’. Perbedaan tajam tersebut lebih disebabkan karena Al-Qurán maupun hadits-hadits tidak secara definitif menyebutkan jarak tempuh minimal sehingga dapat dikategorikan sebagai ‘’perjalanan’’. Dalam kaitan ini Ibnu Taimiyyah, seorang pembaharu Islam, menjelaskan bahwa sebuah nama dimana secara bahasa dan Syariat tidak memberikan batasan/definisi, maka hal tersebut dikembalikan kepada kebiasaan/tradisi. Oleh sebab itu, ketika seseorang melakukan perjalanan dan itu secara kebiasaan/tradisi dikategorikan sebagai sebuah ‘’perjalanan/safar’, maka ketika itu pula diperbolehkan baginya untuk meringkas dan/atau menggabungkan shalat.
• Demikian pula Syariat tidak secara definitif membatasi lama maksimal perjalanan sehingga seseorang dibolehkan untuk meringkas dan/atau menggabungkan shalat. Oleh sebab itu, lama maksimal perjalanan sehingga diperbolehkan baginya meringkas dan/atau menggabungkan shalat berpatokan kepada tradisi.
*Penulis: Mochamad Ilyas
S1 Universitas Al Iman Yaman
S2 UIN Jakarta
Saat ini sedang tugas disertasi S3 di UIN Jakarta