"Saya orang yang tidak setuju Jokowi menjadi Presiden. Karena rekam jejaknya masih belum mumpuni untuk memimpin negara. Kalau dia berhasil di Solo, karena luas Solo itu cuma se-Kecamatan Cilandak saja. Pas dia pimpin Jakarta, belum ada bukti yang konkret yang menunjukkan dia berhasil," kata Agus kepada okezone, Senin (31/3/2014).
Persoalan yang ada di Jakarta, kata Agus, jauh lebih rumit ketimbang Solo. Dan Jokowi, terlalu terburu-buru dalam menjalankan program sehingga banyak yang tidak berhasil.
"Coba lihat program apa yang sukses? Paling normalisasi waduk saja yang bisa dibilang sukses, yang lain seperti rusun deret bermasalah, transportasi babak belur. Normalisasi bantaran berenti karena banyak rumah pejabat. Kaki lima enggak beres," kata dia.
Terkait sekolah dan kesehatan gratis, yang menjadi andalan Jokowi saat kampanye dan kerap kali dipromosikan ketika berkampanye, ia menilai hal tersebut sudah tak layak untuk ajang "jual diri" saat saat kampanye.
"Sekolah dan kesehatan itu kewajiban. Itu memang seluruh warga dunia harus merasakannya. Jangan digembar-gemborkan. Saya khawatir semua program yang masih acak-acakan itu dimainkan lawan politiknya," tandasnya.
Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan 19,4 persen Kartu Jakarta Pintar (KJP) tidak tepat sasaran. Dari 405 ribu KJP yang disalurkan pada 2013, 78.570 di antaranya diberikan kepada penerima yang tidak sesuai Perda Nomor 27 Tahun 2013.
"Pemprov DKI belum memiliki desain yang jelas dalam Kartu Jakarta Pintar. Begitu juga dengan pengawasan, serta sosialisasi jumlah uang yang seharusnya diterima oleh penerima KJP," kata peneliti Bidang Monitoring Pelayanan Publik ICW, Siti Juliantari, di Jakarta, Senin (31/3/2014) kemarin.
Siti juga memaparkan, uang KJP juga masih dipotong pihak sekolah dengan berbagai alasan seperti untuk uang les tambahan, uang olahraga, infak, buku paket, SPP, materai mengurus KJP dan LKS.[dm/pksnongsa.org]