"Mas nggak usah posting kata-kata yg romantis di facebook, ya," kata suami saya sambil berpamitan untuk kerja malam ini. Maklum, hari ini adl 1st wedding aniversary kami. Saya pun mengangguk tak masalah.
Saya jadi ingat, dulu persepsi sy adalah bahwa sebuah keromantisan jika suami rajin memention istrinya di medsos. Setidaknya, bagi saya saat itu, memention istri di facebook dengan menyelipkan kata-kata manis adalah sebuah "pengakuan" yg dibutuhkan oleh seorang wanita dari prianya dan sebuah ungkapan "peneguhan eksistensi" pasangannya di depan publik, khususnya teman-temannya. Sebagaimana bangganya dan tersanjungnya seorang wanita bila suaminya dgn cintanya selalu mengenalkan istrinya pd teman-teman yg dijumpainya, "kenalin, ini istriku."
Dulu pun saya sempat bertanya mengapa suami sy tidak suka melakukan hal yg banyak dilakukan para suami, khususnya pasangan muda pada istrinya, yakni memention istrinya di medsos. "Sesekali aku kan jg pengen," gerutu saya kala itu.
Namun, seiring dengan perjalanan pilinan hari yg kami lalui dlm pernikahan, juga seiring kedewasaan memandang suatu wujud romantisme, saya tahu bahwa tak berkurang romantisnya pd saya, meski ia tak menyebut saya di akun medsosnya. Saya pun tak merasa kurang "pengakuan" dan tetap merasa "dibanggakan" pula oleh suami sy. Sebagaimana kata-kata yg sering ia ucapkan pd saya ttg kesyukurannya menjadi suami sy dan terima kasihnya untuk kesediaan sy menjadi istrinya yg selalu sy jawab dgn ungkapan serupa pula.
Sebagaimana yg bunda Helvy Tiana Rosa rasakan pd suaminya, buat saya pun, tak harus menunggu hari tertentu, ulang tahun, atau milad pernikahan untuk menangkap cinta dari suami sy.
Ia bukannya tak pandai merangkai dan mengekspresikan kata. Ia bahkan pembuat puisi romantis 'maksimal' jauh melebihi kemampuan saya yg sarjana sastra ini. Tak pernah kata 'miss you', 'love you', 'honey', 'cinta', dan kini 'bunda' dan berbagai emoticon romantis absen tiap harinya dari Whatsapp kami.
Tapi, dia mengajari saya menikmati romantisme dalam ruang terbatas dimana hanya ada "aku" dan "kamu". Alhamdulillah, berbagai aplikasi komunikasi kini memudahkan suami-istri untuk 'menumpahkan" kata-kata romantis dan intim satu sama lain secara privat. Tinggal pilih saja. Ada BBM, WA, atau bahkan jika tangan gatel ingin posting hal-hal romantis di facebook, kita bisa membuat grup rahasia dimana isinya hanya ada kita berdua dgn pasangan kita. Dan saya sampai pd titik dimana saya begitu menikmati area privasi kami ini.
Apa yg ia ajarkan pd saya benar adanya bahwa dalam ruang hak berekspresi kita di muka umum, ada hak kenyamanan orang lain yg harus kita jaga pula. Sebagaimana pula yg pernah sy tulis sebelumnya, jangan sampai kebahagiaan kita menjadi sebab kenelangsaan atau ketidaksyukuran orang lain akan kondisinya. Dalam hal ini adalah kenelangsaan para 'jones' (jomblo ngenes) yg membaca posting romantis kita pd pasangan.
Buket mungil mawar putih dan gempornya kaki habis jalan-jalan ke islamic book fair dan gramedia menjadi bukti manis keromantisannya hari ini.
Seperti pangeran dalam impian, ia menggenapi semua kebahagiaan saya. Setiap momen "belajar" dalam pernikahan ini bersamanya sungguh-sungguh saya nikmati.
Saya hanya berdoa semoga ia menjadi suami sy yg pertama dan terakhir, pun sebaliknya. Agar sebagaimana dijanjikan, ia yg terakhir adalah ia yg akan menjadi pasangannya kelak di surga.. aamiin...
Setahun sudah sy menjadi istrinya.. moga semakin shalihah dan lebih baik dalam mencintai, melayani, menghormati, dan memuliakannya...
Mohon doanya ya semoga pernikahan kami menjadi cahaya kebaikan pula untuk sebanyak mungkin orang..
Pernikahan yg tidak saja membelajarkan kami berdua, tp jg bisa membelajarkan untuk orang lain lewat pelajaran kecil yg bisa kami bagikan..
8 September 2013 - 8 September 2014
-Iva Wulandari-