News Update :

PBNU Dukung Pemilukada Oleh DPRD



Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang didalamnya terdapat mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) akan disahkan pada tanggal 25 September 2014. Sampai saat ini masih terjadi polemik apakah Pemilukada tetap secara langsung seperti selama ini atau Pemilukada dikembalikan ke DPRD.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyatakan dukungannya terhadap rencana pemilihan daerah yang dilakukan oleh DPRD, bukan pilihan langsung oleh masyarakat karena mudharatnya atau kerugiannya lebih besar.

“Sesuai dengan hasil musyawarah nasional dan konferensi besar NU di Cirebon kami mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah oleh DPRD,” katanya kepada NU Online, Rabu (10/9).

Ia menegaskan, pemilihan langsung rawan terjadinya konflik horisontal antar masyarakat sebagaimana yang sering terjadi selama ini.

Meskipun demikian, diakui bukan berarti pemilukada oleh DPRD bebas dari politik uang. “Kan ada KPK, PPATK atau institusi hukum lainnya yang bisa melakukan pengawasan,” katanya.

Dijelaskannya, disamping figur-figur yang sukses memerintah dari pemilihan langsung seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi Ridwan Kamil di Bandung dan lainnya, banyak sekali pemimpin daerah yang terpilih karena memiliki uang banyak.

“Ada calon baik-baik yang kalah sama penyanyi, karena kalah populer dan kalah uang,” tegasnya.

Untuk menjadi kepala daerah, kata Kiai Said, dibutuhkan dana yang sangat besar. Untuk bupati, bisa puluhan milyar sedangkan untuk tingkat gubernur, mencapai ratusan milyar. Dan tentu saja, mereka akan berusaha mengembalikan modal tersebut dengan segala cara setelah terpilih.

Wakil sekjen PBNU Masduki Baidlawi menambahkan, proses pilkada saat ini merupakan bagian dari upaya pematangan politik, baik pemilihan langsung maupun oleh DPRD akan sama-sama menimbulkan politik uang.

“Kalau pemilihan oleh DPRD, maka kontrol masyarakat terhadap lembaga ini harus diperkuat,” tegasnya.

Berikut hasil bahtsul masail maudluiyyah pemilukada dalam perspektif Islam dalam Munas NU Cirebon, 15-17 September 2012

1. Pemilukada yang didasarkan pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tujuan yang sangat mulia, antara lain:

a. Melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat luas dalam memilih pemimpin di daerahnya. Dengan demikian, ini merupakan pendidikan politik bagi masyarakat dalam berdemokrasi.

b. Terpilihnya kepala daerah yang aspiratif yang memahami betul problematika masyarakat dan pemecahannya.

Tujuan mulia ini dapat disebut dengan kemaslahatan (mashlahah) yang hendak diraih dengan pemilukada.

2. Dalam praktek pelaksanaan pemilukada selama ini, dampak positif (mashlahah) yang diharapkan tidak selalu terbukti. Bahkan sebaliknya, dampak negatif (mafsadah), baik dalam proses maupun dalam produknya, telah terjadi dalam skala yang sangat mencemaskan.

3. Pendidikan politik yang diberikan kepada rakyat melalui pemilukada bukanlah pendidikan politik yang sehat, melainkan pendidikan politik yang buruk, antara lain berupa merebaknya money politics (risywah siyasiyyah). Biaya pemilukada menjadi sangat mahal, bukan hanya bagi negara, tetapi juga bagi para kandidat. Hal ini sangat potensial untuk menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, membuktikan kebenaran hal ini.

4. Harapan untuk memperoleh kepala daerah yang terbaik (ashlah) melalui pemilukada, lebih sering tidak terwujud dalam kenyataan. Sementara itu konflik horizontal akibat pemilukada telah menjadi kenyataan yang sangat memprihatinkan.

5. Mengingat mafsadah pemilukada merupakan mafsadah yang sudah nyata terjadi (muhaqqaqah), sedangkan mashlahahnya lebih sering maslahat semu (wahmiyyah), maka pemilukada wajib ditinjau kembali. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:

دَ رَ ءَ اَل مَف اَ سَ دَ أَ و لَ م نَ ج ل بَ صال حَال

“Menghilangkan kerusakan lebih utama daripada meraih kemaslahatan.” (Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1403 H, h. 87).

6. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) gubernur, bupati dan walikota melalui lembaga perwakilan (DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II) layak untuk diberlakukan kembali, karena terbukti mafsadahnya lebih kecil daripada mafsadah pemilukada. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum Islam tentang ditempuhnya madharat yang lebih ringan di antara dua madharat (irtikab akhaff al-dlararain) yang didasarkan pada kaidah fiqhiyyah:

إ ذ ا تَ عا ر ضَ م ف س دتا نَ مَرو ع يَ أَ عظ م ممه ما ض ررا بَ ا رت كا بَ أَ خ ف هما

“Apabila ada dua mafsadah saling bertentangan maka harus diperhatikan mafsadah yang lebih besar bahayanya dengan memilih mafsadah yang lebih ringan madlaratnya” (Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1403 H, h. 87). (mukafi niam)

*sumber: nu.or.id
Share Artikel ini :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar