News Update :

"Pilkada via DPRD Adalah Kemunduran" Sudut Pandang Sempit



Saya terhenyak mendengar pernyataan bahwa jika pemilihan kepala daerah dikembalikan ke sistem lama, yaitu di pilih oleh DPRD, maka kita mengalami set-back atau kemunduran dalam berdemokrasi. Benarkah?

Saya bertanya-tanya, apa gerangan yang menjadi dasar pendapat seperti itu? Asumsi terkuat saya adalah pihak yang berpendapat seperti itu mengartikan demokrasi sebagai “segala sesuatunya adalah pemilihan langsung”. Pendapat yang tidak salah. Tetapi, tidak lantas mengunci makna hingga membuat pendapat lain menjadi tidak benar.

Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 (teramandemen) berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

Menjadi pertanyaan sekarang: bagaimana penjabaran “dipilih secara demokratis” itu?

Sejak Big Bang Demokrasi Indonesia ’98 negara kita langsung mencari bentuk yang dirasa paling pas. Sebuah “kekuasaan besar” yang tadinya memusat di Jakarta (pada satu orang pula) secara tiba-tiba terlepas dan menyebar ke mana-mana. Bentuk paling pas harus segera ditemukan agar kekuasaan yang menyebar itu tidak bergerak liar dan menyebabkan disintegrasi bangsa. Pihak Eropa dan Amerika berlomba-lomba menawarkan sistem. Lebih tepatnya saya bilang mereka sebenarnya bekerja sama menginjeksi sistem ke dalam sistem ketatanegaraan kita. Konstitusi negara (UUD 1945) sebagai pondasi berhasil di”tembus”. UUD 1945 yang “asli” akhirnya berubah di sana-sini.

Perubahan terbesar adalah dalam sistem pemilihan kepala eksekutif pemerintahan pusat. Presiden (dan Wakil) yang oleh para pendiri bangsa diamanahkan untuk dipilih melalui MPR, berubah menjadi dipilih langsung. Lucunya, MPR-nya sendiri yang pada UUD “asli” terdiri dari DPR dan Utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan (ingat ya: UTUSAN) diganti menjadi DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Utusan diganti DPD. DPD-nya lewat seleksi Pemilu, dipilih langsung. Kepala-kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota), awalnya “selamat” dari setiran “dipilih langsung” sebagaimana Pasal 18 ayat 4 di atas. Tetapi, “lolos” pada tingkat Konstitusi ini tidak berarti lolos sepenuhnya. Kepala Daerah“digiring” masuk ke dalam sistem pilih langsung pada level Undang-Undang yang tingkatannya berada di bawah UUD.

Sepertinya, beginilah “standar” Demokratis itu: Kalau semuanya dipilih langsung.

Benarkah demikian? Kita mungkin telah menjadi lebih Amerika daripada Amerika itu sendiri. Mari kita akui bersama bahwa negara adidaya (yang di atas kertas sedang bangkrut itu) adalah kampiun Demokrasi. Bagaimana mengukur kadar Demokratis nya? Apa karena semuanya dipilih langsung di sana? Mari kita lihat.

Presiden Amerika (dan Wakil) tidak sepenuhnya dipilih secara langsung. Rakyat Amerika memilih secara tidak langsung. Rakyat Amerika memilih Dewan Pemilih Presiden (Electoral College) di tingkat Negara-bagian masing-masing. Para anggota Dewan inilah yang nantinya secara resmi memilih Presiden Amerika. Jangan heran, kalau dalam beberapa pemilihan Presiden di sana pemenangnya bukanlah peraih suara terbanyak. Yang meraih suara terbanyak, dalam beberapa kasus, justru kalah. Demokratis kah cara ini? Orang Amerika bilang: Iya.

Di kota Pleasanton, California, hanya Walikota yang dipilih langsung (bersamaan dengan anggota Dewan Kota). Wakilnya, ditunjuk untuk masa jabatan 1 tahun. Demokratis? Warga kotanya bilang: iya.

Jadi, saya heran pada pihak yang mengklaim bahwa mengembalikan sistem pilkada ke DPRD sama dengan kemunduran bagi demokrasi kita.

Kalau secara total mau berkaca ke “standar demokratis” Amerika, sekalian kita contohin aja pemilihan Gubernur dan Wagub Negara-bagian Arkansas. Di sana, Gubernurnya kampanye sendiri, Wagubnya juga kampanye sendiri. Mereka dipilih secara terpisah. Bukan satu paket. Hebat, bukan? Mengapa kita tidak “Sedemokratis” cara Arkansas ini? Bukankah pada banyak kasus Bupati dan Wakilnya atau Gubernur dan Wakilnya “cerai” di tengah jalan? Mengapa tidak sekalian dipilih secara terpisah saja sedari awal. Secara langsung pula! Maaf, ini satire. Perlu saya tegaskan bahwa ini paragraf satire. Karena pendapat seperti ini rawan dipelintir sebagai bukan satire lalu dijadikan olok-olok oleh pihak tertentu.

Mengukur Demokrasi itu tidak bisa menggunakan satu sudut pandang saja. Karena demokrasi itu sendiri adalah PROSES. Proses ketika sesuatu yang berada di domain publik dibicarakan untuk mendapat kemaslahatan bersama.

Mengklaim pilkada via DPRD sebagai TIDAK DEMOKRATIS menurut saya tidak sepenuhnya benar. Sudah hampir 1 dekade kita mempraktikkan Demos Kratos (Rakyat yang berkuasa) pada Pilkada. Waktunya sekarang untuk melihat apa dampak yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir.

Silahkan buka data berapa warga kampung yang harus terluka bahkan tewas karena menu demokrasi “Pemilihan Langsung Kepala Daerah” yang nampaknya belum begitu pas disajikan kepada mereka. Berapa warga yang awalnya aman tenteram numpang di tanah orang, namun pasca Pilkada diusir dari tempat numpang hanya karena pemilik lahan atau kerabatnya tidak terpilih. Berapa biaya penyelenggaraan Pilkada yang disedot dari kas daerah. Berapa pula kasus kepala daerah berakhir di penjara karena kejar setoran untuk mengembalikan “dana sponsor pilkada” saat mereka menjabat. Lihat pula berapa daerah yang tidak maju-maju juga karena kepala daerahnya tidak kapabel menjalankan tugas sebagai kepala daerah, yang bersangkutan terpilih hanya karena faktor “keluarga besar”, “bergizi”, dan menang karena main mata dengan penyelenggara pilkada.

Mari kita ukur demokrasi kita dengan kaca mata kita sendiri. Kita punya Konstitusi sendiri, kan? Yang berproses dalam demokrasi kita adalah kita-kita juga, kan? Ujung-ujungnya demokrasi adalah layanan publik. Sudahkah kita merasakan berkualitasnya layanan publik di daerah kita masing-masing dengan sistem demokrasi-injeksi yang sedang kita jalani saat ini?

Seorang Professor di State University of New York pernah bilang pada saya: Demokrasi adalah eksperimen terbesar bangsa kami. Kami bereksperimen sudah lebih dari 200 tahun. Sampai sekarang kami masih terus bereksperimen.

(Canny Watae)
Share Artikel ini :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar