Dinamika politik Jawa Timur kembali memanas, seiring gugatan Khofifah Indar Parawansa. Tak main-main, Khofifah menggugat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ke Mahkamah Agung (MA).
Salah satu yang digugatnya, adalah soal jumlah hakim MK yang menangani perkaranya dalam Pilkada Jatim tahun lalu.
"Di peraturan itu kan tertulis putusan boleh diambil sekurang-kurangnya oleh delapan hakim, kan hakim MK ada sembilan. Jadi (jumlah hakim) bisa genap, padahal di belahan dunia manapun jumlah hakim selalu ganjil," kata Khofifah, Senin 8 September 2014.
Atas gugatan itu, Wakil Ketua MA bidang Nonyudisial Suwardi turun langsung mengadili perkara tersebut.
Khofifah mengajukan judicial review Peraturan MK Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Kasus ini akan ditangani oleh Ketua majelis Suwardi dengan anggota majelis Dr Supandi dan Yulius.
Perkara yang mengantongi 52 P/HUM/2014 itu sampai ke meja majelis pada 25 Agustus 2014.
Tidak dijelaskan pasal mana saja dalam Peraturan MK itu yang digugat Khofifah.
Khofifah kalah melawan Soekarwo. Saat kasus itu dibawa ke MK, Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva menolak gugatan Khofifah. Dengan ditolaknya permohonan ini maka pasangan incumben Soekarwo-Saifullah Yusuf diputus KPU Jatim memenangi Pilgub Jatim dengan memperoleh suara 8.195.816 suara atau 47,25 persen.
Belakangan kasus itu kembali ramai diperbincangkan usai Akil Mochtar berkicau dari dalam penjara jika MK seharusnya memenangkan Khofifah. Akil selaku ketua panel mengetok Khofifah sebagai pemenang.
Namun hasil itu berbalik saat dibawa ke sidang pleno. Padahal menurut tradisi di MK, sidang pleno umumnya satu suara dengan sidang panel. (fs)