“Lebih baik menjadi lawan dalam menolak kebatilan daripada berkoalisi dalam keburukan”
Saya sangat bahagia melihat tensi Pemilu 2014 kali ini. Setiap partai politik memiliki strategi yang berbeda dalam mendulang suara. Hal lainnya yang membuat saya patut bertepuk tangan adalah kemampuan partai-partai Islam yang berhasil menjungkirbalikan fakta survei yang teramat percaya diri menempatkan parpol Islam dalam posisi tidak layak di hasil Pemilu. Meskipun di ajang Pilpres mendatang, parpol Islam sulit membangun koalisi.
Setelah perhelatan Pemilu anggota legislatif, tentu rakyat Indonesia akan diperhadapkan pada Pemilu Presiden. Tentu, hasil Pemilu saat ini menjadi barometer pemetaan kekuatan parpol dalam mebangun koalisi. Berdasarkan isu yang cukup populer di media, ada tiga partai yang telah siap mengangkat RI 1, yakni PDIP, Golkar dan Gerinda. Sementara itu, partai lainnya telah siap menunggu pinangan tiga partai di atas untuk menjadi pasangan pilpres mendatang.
Saat ini media heboh mewacanakan paket capres Jokowi-Mahfud MD, Aburizal Bakrie-Anis Matta dan Prabowo-Wiranto. Dari paket Pilpres ini, saya menilai ada paket Pilpres yang terlalu dipaksakan, yaitu soal Anis Matta disandingkan dengan Aburizal Bakrie. Secara peta kekuatan politik, Golkar memang senior dalam ahli pemenangan di Pemilu. Hanya saja, Aburizal Bakrie memang belum layak disandingkan dengan Anis Matta. Meskipun Aburizal Bakrie punya media besar dalam memoles pribadinya di TV, tetapi kenangan rakyat Indonesia dengan Lapindo sampai saat ini belum luput. Selain itu, Aburizal Bakrie jauh berbeda karakter dengan Anis Matta. Masa sih politisi santun dan islamis seperti Anis Matta disandingkan dengan capres yang suka liburan dengan artis-artis cantik ke luar negeri.
Jika memang ARB benar-benar disandingkan dengan Anis Matta, tentu ada pertimbangan politis. Tapi, secara pencitraan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak selayaknya menjadi partai pendukung pemimpin dengan model ala Aburizal Bakrie. Masih lebih mending menjadi partai oposisi saja. Lagipula, Partai Keadilan Sejahtera tidak akan hancur dengan tidak ikutan Pilpres. Perlu diingat, ARB dan Golkar boleh besar, tapi belum tentu menjadi pemenang. Sebab, rakyat saat ini akan melihat sosok, bukan peta kekuatan partai pascapemilu. Sehingga, Anis Matta harus mendapatkan capres yang punya kesamaan visi dan tokoh yang sesuai dengan Partai Keadilan Sejahtera.
Pasangan kedua, Andai kata Anis Matta (PKS) disandingkan dengan Jokowi (PDIP), tentu hal yang mustahil. Sebab, ada ideologi yang dijaga oleh PKS. Salah satunya juga soal harga diri rakyat Indonesia. Pertama, Jakarta adalah Ibukota Negara. Jokowi akan meninggalkan Jakarta, padahal masih ada banyak hal yang perlu dia lakukan di sana.
Lalu apakah negeri ini sudah kehabisan stok pemimpin? Tentu tidak. Masih banyak pemuda Indonesia yang layak jadi pemimpin. Hanya saja, Jokowi butuh sedikit bersabar menunggu pemimpin muda Indonesia tumbuh berkembang. Jangan meninggalkan Jakarta dulu. Menunggu sampai anak bangsa ini siap menerima tampuk kepempininan. Jadi, Jokowi jangan nyapres dulu, lah.
Antara PDIP-Golkar, tentu keduanya tereliminasi dari kemungkinan koalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera. Yang tersisa adalah PKS pantas mendampingi Gerindra (Prabowo). Meskipun memang, Pimpinan Gerinda punya catatan hitam di sepanjang sejarah bangsa ini. Saya yakin, Gerinda punya misi yang sama, mengembalikan kejayaan Indonesia di mata dunia. Selain itu, nasionalisme Prabowo saat ini sangat dibutuhkan untuk mengembalikan dan merebut kekayaan Indonesia dalam cengkeraman asing.
Kalau koalisinya dengan PDIP ada besar kemungkinan aset Bangsa dijual. Fahri Hamzah sudah mengetahui berapa aset Negara yang dijual pada zaman kepemimpinan Megawati. Dan, PKS tidak akan ikut berkoalisi dalam menjual aset negeri ini.
Dilihat dari kekuatan tokoh dan politik, PKS dan Gerinda punya peluang besar dalam memenangkan Pilpres. PKS punya massa real. Artinya, PKS punya basis massa yang bisa diprediksi, berbeda dengan partai lain yang meskipun hari ini menang, besok bisa kalah. Hal ini disebabkan pemilih PKS adalah pemilih cerdas dan berkualitas, sehingga tidak bisa digoyahkan dengan money politics.
Kemenangan partai lain hanya soal kekuatan finansial, sehingga kemenangannya hanyalah kemenangan semu. Bisa saja kondisi dan nasib partai pemenang hari ini akan terpental jauh dan babak belur di dunia perpolitikan di hari esok, karena kekuatan politiknya hanya bersifat semu. Jadi, PKS benar-benar siap dan perlu teliti memilih berkoalisi dengan partai yang dituju.
Sahabat Indonesia, saya kira itulah sedikit suara hati saya sebagai kader yang berada pelosok Gorontalo. Saya ingatkan lagi, catatan ini hanya sekadar pandangan personal bukan institusional. Saya hanya berharap, catatan kecil ini bisa menjadi batu kecil yang seharusnya menjadi referensi tambahan dari suara kader di pelosok Indonesia untuk menentukan partai koalisi. Semoga saja Pimpinan PKS memtusukan pilihannya kepada partai yang ideal. Aamiin.