News Update :

Menyoal Hari Santri Nasional

Rupanya, kedewasaan berdemokrasi bangsa kita belum sepenuhnya matang. Masih terlihat labil dan terkesan emosional. Perbedaan pendapat ataupun pilihan politik yang menjadi ruh demokrasi, belum sepenuhnya difahami sebagai proses mencari dan menemukan gagasan-gagasan cemerlang yang lahir dari buah fikir anak bangsa dalam keragaman sudut pandangnya. Perbedaan pendapat masih dinilai sebagai hal yang tabu, sehingga setiap perbedaan dianggapnya sebagai langkah permusuhan yang harus dilawan dan bila perlu dilenyapkan.

Perbedaan pendapat sejatinya harus dilihat dalam perspektif kompetitif yang sehat antara pihak yang menelurkan gagasan di satu sisi dan pihak yang mengeksplore gagasan tersebut di sisi lainnya. Sehingga, gagasan yang ditelurkan tersebut, benar-benar dapat dipertanggung jawabkan dan selamat dari celaan yang akan datang dikemudian harinya. Dengan kata lain, setiap gagasan dan ide baru yang dimunculkan, harus siap menerima kritik dari berbagai pihak untuk menguji imunitasnya.

Demokrasi yang matang, memberikan space yang luas bagi setiap orang mengemukakan pendapatnya. Setiap orang juga mempunyai hak yang sama untuk menyampaikan kritik konstruktif dalam rangka menilai dan menelisik setiap pendapat yang dianggapnya kontradiktif. Maka, saat suatu gagasan ditelurkan, saat itu pula seharusnya sang empunya gagasan sadar bahwa gagasan yang dihasilkannya tidak akan pernah selamat dari kritikan.

Gagasan yang dilemparnya ke publik, telah menjadi barang sah milik publik. Biarkan publik menilai, apakah gagasan tersebut layak dikembangkan ataukah sebaliknya. Berikan kesempatan seluas-luasnya bagi siapapun yang ingin mengeksplore gagasan itu, tanpa harus memaksakan orang lain untuk sependapat, kemudian menebar ancaman kepada siapa saja yang tidak sependapat.

Bangsa ini harus dibiasakan untuk mencerna setiap gagasan yang lahir dan melihat pokok persoalan secara utuh. Bangsa ini juga harus disiapkan menjadi bangsa yang berhati lapang. Bangsa yang memiliki daya nalar panjang, sehingga tak mudah dibenturkan dengan diksi yang manipulatif. Diksi yang menjebak. Diksi yang terkadang menjauhkan akal dari substansi yang disampaikan. Hanya dengan cara demikian, demokrasi di negeri yang multikultural ini akan tumbuh dan berkembang menjadi demokrasi yang sehat, demokrasi yang menghargai pluralitas. Demokrasi yang menjunjung tinggi toleransi dan saling menghargai. Jika tidak ada pembiasaan, maka bangsa yang besar ini hanya berisi petasan-petasan bersumbu pendek yang setiap saat akan siap diledakkan.

Ketidaksiapan bangsa ini berdemokrasi, kerap kali terlihat dalam berbagai kesempatan dan akan semakin nampak pada saat suksesi kepemimpinan dengan berbagai jenjangnya. Dari urusan kepemimpinan RT sampai dengan kepemimpinan negara. Lihatlah misalnya saat pemilihan kepala daerah, atau yang terdekat saat ini adalah ajang Pemilihan Presiden. Masing-masing pendukung akan berusaha merebut hati calon pemilih dengan caranya sendiri. Sebagian menggunakan cara-cara simpatik, edukatif dan elegan. Sebagian lagi dengan cara yang susah diterima nalar, reaktif dan cenderung anarkis.

Satu kasus misalnya baru-baru ini, saat kubu Jokowi-JK melemparkan gagasan akan menjadikan 1 Muharram sebagai hari santri,  gagasan tersebut langsung mendapat kritikan pedas dari kubu Prabowo-Hatta yang diwakili Fahri Hamzah. Menurutnya,  wacana tersebut  hanyalah pepesan kosong yang tak memiliki makna. Gagasan tersebut tidak akan menghasilkan apapun selain akan menambah tinggi tumpukan janji-janji Jokowi yang bakal dikhianati. Karenanya, Fahri tak bisa menyebunyikan kekesalannya dengan menyebut 'Sinting' bagi pihak yang suka menebar janji, tetapi setelah itu mereka mengkhianati. "Jokowi janji 1 Muharam hari Santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dijanjikan ke semua orang. Sinting!" Tulis Fahri dalam akun twitternya @fahrihamzah. Akibat kicauan ini, kubu Jokowi dibuat meradang.

Reaksi keras pun muncul dari pihak Jokowi yang tak terima dengan kicauan Fahri. Melalui tim advokasi pemenangan Jokowi-JK, Mixil Munir, kicauan Fahri itu dinilai sebagai sebuah penghinaan, tidak hanya bagi Jokowi sebagai wistle blower, tetapi juga bagi kaum santri yang katanya menitipkan aspirasinya kepada pasangan Jokowi-JK. Protes tak kalah kerasnya juga datang dari salah seorang petinggi PKB, partai  pendukung Jokowi-JK, Marwan, yang mengancaman akan mengepung kantor DPP PKS, jika salah seorang pengurusnya itu tak juga menyampaikan permohonan maafnya.

Bagi saya, gagasan menjadikan 1 Muharam sebagai hari santri nasional, bukanlah hal baru. Terlepas dari niat baik Jokowi dalam mengakomodir aspirasi para santri dan kiyai pendukungnya ataupun hanya sekedar janji-janji pemanis kampanyenya, gagasan tersebut haruslah diperiksa ulang dan dilihat lebih dalam, apakah ide tersebut berdiri sendiri ataukah ada agenda lain yang mengekor dibelakangnya. Subjektifitas pribadi saya adalah gagasan tersebut memiliki agenda turunan yang bisa mereduksi pemahaman ummat Islam, khususnya para santri dan kiyai terhadap sejarah peradaban Islam. Ide tersebut kurang lebih 11/12 alias mirip dengan gagasan menghilangkan kolom agama dalam lembar KTP. Tujuan akhirnya jelas ingin meceraikan paksa perkawinan antara agama dengan negara.

Bila ditanjau dari aspek historis, 1 Muharam adalah titik tolak penanggalan kalender hijriah. Dengan kata lain, 1 Muharam sama artinya dengan awal tahun Hijriah.  Penanggalan Hijriah sendiri merupakan hasil ketetapan dari Khalifah Umar bin al-Khattab radhiyallahu 'anhu ketika Khalifah Umar menerima surat dari Gubernur Basrah kala itu, Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu yang isinya menyatakan” Kami telah banyak menerima surat dari Amirul Mukminin, dan kami tidak tahu mana yang harus dilaksanakan terlebih dahulu, dan kami telah membaca agenda kegiatan yang bertanggal Sya’ban, tapi kami tidak tahu persis Sya’ban mana yang dimaksud, apakah Sya’ban tahun ini atau Sya’ban tahun depan yang dimaksud."

Surat dari Abu Musa Al-Asy’ari  ini dipandang oleh Umar sebagai suatu permasalahan yang sangat urgen dan mendesak. Karenanya, beliau mengumpulkan para Sahabat Rasulullah Saw. untuk mediskusikan permasalahan tersebut, agar segera dibuat suatu ketetepan penanggalan yang seragam yang dipergunakan sebagai keperluan admisistrasi dan keperluan masyarakat umat islam lainnya. Dalam forum itu, banyak usulan yang bermunculan untuk dijadikan sebagai titik awal penanggalan Islam, mulai dari peristiwa penyerangan ka'bah oleh tentara Abrahah, kemudian hari kelahiran Nabi Saw., saat peristiwa hijrah dan wafatnya Beliau. Atas berbagai masukan dan pertimbangan yang matang, maka, forum itu menyepakati penanggalan Islam diambil dari peristiwa Hijrahnya Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Peristiwa itu terjadi pada 17 tahun setelah Hijrah.

Berangkat dari sejarah di atas, maka gagasan menjadikan 1 Muharam sebagai hari santri nasional adalah gagasan yang ngaur, dangkal dan tak berdasar. Gagasan tersebut sama sekali tidak mencerminkan aspirasi para santri dan kiyai yang sangat lekat dengan identitas keislamannya. Gagasan tersebut, bukannya untuk menaikkan marwah kaum santri dan para kiyai, tapi sebaliknya, justru akan menempatkan mereka pada ruang sempit bernama "Hari Santri Nasional". Kelak, jika gagasan ini berhasil diwujudkan, maka para santri  tidak lagi mengenal 1 Muharam sebagai tahun baru Hijriah, tetapi akan mengenalnya sebagai hari santri nasional. Kelak, jika gagasan ini berhasil diwujudkan, para santri tidak lagi mengenang bagaimana peristiwa Hijrah Rasulullah Saw. dan para sahabatnya serta jiwa kepahlawanannya, melainkan akan mengenang bagaimana peran santri dalam kancah nasional. Inikah yang dimaksud dengan Revolusi Mental?

Tentu, kita menghargai niat baik serta gagasan-gagasan cemerlang dari siapapun yang pro kepada ummat Islam, yang memberikan mashlahat kepada ummat Islam, jika saja gagasan itu tidak kontradiktif dengan nilai-nilai keislaman. Ummat Islam pasti mendukung, jika ide hari santri nasional itu tidak bertabrakan dengan simbol-simbol keislaman. Ummat Islam akan bangga, jika ada pemimpinnya memberikan perhatian lebih kepada santri dan kiyai, karena berkat keberadaan merekalah, berkat aliran darah merekalah, bangsa ini merdeka dari segala belenggu penjajahan. Merekalah yang mendidik bangsa ini menjadi bangsa yang cerdik, bangsa yang kuat, bangsa yang berkarakter, bangsa yang pemberani, bangsa yang bermartabat dan disegani. Atas dasar itulah, mereka harus dimuliakan dan dihargai, bukan malah dieksploitasi dan dibodoh-bodohi. Merdeka!

Mataram, Lombok, NTB 04/07/2014

Oleh: Syamsul Bahri
Share Artikel ini :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar