Oleh Arya Sandhiyudha AS*
15 tahun lalu, 7 Juni 1999, Pemilu demokratis pertama sejak 1955 digelar. Jauhnya perjalanan dari momen itu hingga hari ini akan membantu kita memahami bahwa Indonesia sudah bukan lagi dalam "transisi demokrasi". Usia 15 tahun dan Pemilu keempat yang telah kita jalani bukti demokrasi di Indonesia telah stabil dan mapan. Syukuri ini. Kita harus berani yakin, meski 15 tahun lalu kita diragukan dunia akan tergoda dan merindu kembali ke otoriter masa lalu, namun langkah kita terus maju. Ini nikmat mahal bila dibanding beberapa negara yang masih Pemilu pura-pura demi melanggengkan kekuasaan diktatornya: Assad di Suriah, Assisi di Mesir, Haftar di Libya, Maliki di Iraq.
Bandingkan pula dng beratnya ujian demokrasi dinegara jiran, termasuk kudeta berulang di Thailand, kebekuan Junta di Myanmar, dll. Kita juga perlu memahami bahwa Indonesia memilih Sistem Multi-Partai karena itu cara kita mengelola kemajemukan. Beda tidak saling meniada. Adanya partai lokal Aceh atau Perda-perda yang khusus di tingkat lokal (seperti Perda Syariah) juga bukti aspirasi lokal disikapi dewasa dalam demokrasi kita. Indonesia memilih sistem Perwakilan Proporsional, bukan sistem Distrik yang "Winner Takes All", sehingga yang lebih kecil tidak dianggap tiada. Ini artinya Idonesia juga percaya bahwa kewenangan musti terkonsentrasi di banyak aktor. Konsensus dan saling menyeimbang. Itulah makna kematangan demokrasi kita yang telah berusia 15 tahun dari kali pertama Pemilu demokratis digelar.
Halusinasi Diktatorisme
Siapapun terpilih, yakin 100% kita tidak mungkin balik ke rezim diktator. Menakut-nakuti pilihan tertentu dengan bayangan Pak Harto/ OrBa, tidak relevan, karena yg diperbandingkan beda tipe rezim dan tipe Pemilu. Apalagi menakut-nakuti pilihan terhadap capres tertentu dengan halusinasi Assad di Suriah, Assisi di Mesir, Haftar di Libya, atau Maliki di Iraq itu berlebihan. Mereka adalah rezim yang tidak menerapkan Pemilu yang demokratis, apalagi Sistem Multi Partai apalagi Proporsional.
Negara yang belum demokrasi memang tidak musti berubah menjadi demokrasi karena alasan ekonomi yang membaik. Akan tetapi, bagi sebuah negara yang telah berdemokrasi maka situasi ekonomi yang terus membaik akan jadi alasan kuat untuk terus survive dan kian matang dlm demokrasinya. Bagi Indonesia, tidak akan ada jalan kembali dari demokrasi. Keyakinan itupula yang ada di semua kalangan, termasuk miiter. Itu sebabnya militer di Indonesia, bila ingin masuk ke politik, mereka pensiun, menjadi sipil dan mendirikan parpol. Mereka menempuh cara-cara demokratis. Bahkan bila ada dari mereka yang pernah kontes, lalu kalah dengan dewasa, dan atas kepercayaannya pada demokrasi ia tidak rusuh dan kembali maju, sangat layak diapresiasi. Sebab dalam demokrasi, kalah-menang bukan utama, tapi yang terpenting adalah kesiapan kalah dengan dewasa atau menang dengan santun.
Peluang Tirani Mayoritas
Dalam Pilpres juga tidak salah bila ada yang memberi penilaian pada parpol pengusung. Sebab, musykil pemerintahan & NKRI yg besar akan dikelola sendirian, maka menimbang pilihannya perlu lebih dr sekedar antar capres. Sementara kampanye Capres memang dibuat seakan kalau Pilpres itu yang akan mimpin hanya si Capres, akhirnya rakyat lupa menyimak siapa parpol yang bersama sebagai tim. Bahkan parpol sangat mungkin dapat mengendalikan arah pemerintahan kelak. Hal yang lebih perlu diwaspadai bagi negara demokrasi yang mapan apalagi dengan sistem Multi-Partai dan Proporsional sebenarnya bukan apakah ia akan balik lagi ke diktarorisme, sebab hampir tidak mungkin. Apa yang mungkin dari demokrasi kita adalah menjadi "Tirani Mayoritas". Tirani yang dibuat oleh orang-orang yang percaya dengan ide bahwa kekuasaan musti didominasi oleh parpol dengan suara terbanyak.
Koalisi banyak parpol memang ada negatifnya, tapi ada pula positifnya dalam konteks demokrasi. Sebab pemerintahan koalisi akan kehilangan peluang jadi tirani. Apapun partainya dan latar belakang ideologinya, kalau ngelola pemerintahan dengan cara dominan akan cenderung pada tirani. Belum lagi kalau menjadi mayoritas di pemerintahan, juga di parlemen, atau yudikatif. Pemerintahan yang dikelola dominan satu parpol (baik eksekutif, legislatif, atau yudikatif) cenderung akan tidak bisa dikoreksi. Ini ironis, kalau parpol yang mau dominasi sebenarnya suara dukungan rakyatnya juga nggak terlalu besar, tapi nanti akan mengatasnamakan mayoritas. Turki contohnya, Pemerintahan oleh 1 partai, perbedaanya memang suara dukungan rakyatnya nyaris 50%.
Konsensus atau Mayoritarian
Pemerintahan Indonesia pasca Reformasi lebih pas dng Visi Demokrasi Konsensus, bukan Mayoritarian. Apalagi tidak ada pemenang dominan di Pemilu, paling besar pun tidak tembus 20%. Visi Demokrasi Konsensus percaya dengan ide bahwa kewenangan musti dipencar ke beberapa aktor politik. Pembagian itu akan menjaga juga maksud utama demokrasi, bahwa kekuasaan bersifat konsentrik, berlapis, saling cek dan memantau. Sebab apa yang akan dibawa adalah nasib rakyat Indonesia selama 5 tahun lamanya.
Tentu saja ini ulasan teoritik terhadap sistem. Apakah rakyat akan mendorong terlahirnya tirani mayoritas tentu saja itu konsekuensi dari demokrasi yang menjadikan pemilih sebagai “pembeli” yang merdeka. Pada akhirnya, dalam kontestasi politik Pilpres ini rakyat perlu menjaga substansi demokrasi, bahwa demokrasi sejatinya tidak dipengaruhi oleh Pilpres, tingkat kesejahteraan masyarakat, atau rancangan konstitusional, melainkan pada nilai-nilai luhur dan ekspresi budaya kita sebagai warga-negara. Maka, jangan koyak nilai luhur dan ekpresi budaya positif demokrasi dan keadilan gara-gara Pemilu.
Musykil pemerintahan & NKRI yg besar akan dikelola sendirian, maka menimbang pilihannya perlu lebih dr sekedar antar capres.[]
*Arya Sandhiyudha AS
Ph.D Candidate at FATIH University, Turkey
Ketua PPI Turki
Penulis Buku "Renovasi Negeri Madani"